Berita / Nusantara /
Lawan Eropa, Gapki Ajak Kampanyekan Bisnis Berkelanjutan Kelapa Sawit
Elaeis.co - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono, mengajak pemerintah dan pelaku usaha sawit Indonesia untuk mengampanyekan produk sawit sebagai bisnis yang berkelanjutan (sustainable).
Kampanye ini digelorakan guna melawan Uni Eropa yang telah menetapkan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED lI) guna melarang minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dengan berbagai alasan seperti isu lingkungan.
Joko menyatakan, kampanye larangan ini jelas akan mempersulit distribusi produk sawit Indonesia. Oleh karenanya, dia mendorong pelaku usaha untuk membuktikan bahwa CPO sebenarnya masih dibutuhkan dunia.
"Kalau kemudian palm oil harus di-take out dari dunia vegetable oil, sebenarnya bagaimana menggantikannya? Jadi kita harus menunjukan pada dunia bahwa pengganti palm oil itu bukan solusi yang sustainable," ujar dia dalam sesi webinar, Selasa (2/2).
Menurut dia, pemerintah dan pelaku usaha perlu menonjolkan beberapa keunggulan atau kelebihan dari sawit. Oleh karenanya, Joko menekankan pemakaian diplomasi ekonomi bahwa sawit bisa jadi bagian dari sustainability yang saat ini menjadi agenda utama dunia.
"Jadi kita tidak mungkin meng-avoid ini. Mau tidak mau kita harus mengambil ini sebagai bagian dari roadmap kita ke depan, rencana besar kita ke depan. Jadi inilah yang harus jadi tema bagi diplomasi ekonomi kita," tegasnya.
Di sisi lain, dia juga menentang keras kampanye Eropa yang menolak penggunaan sawit. Terlebih saat ini sudah banyak produk makanan di beberapa negara yang terbiasa dengan label no palm oil.
"Jadi sebenarnya no palm oil atau banning palm oil sebenarnya bukan solusi. Maka yang harus kita kampanyekan, yang harus kita pakai sebagai pijakan dalam diplomasi ekonomi kita adalah sustainable palm oil," seru dia.
Inclusive Closed Loop, Skema Menuju Industri Sawit Berkelanjutan
Populasi global yang diperkirakan mencapai 9,8 miliar pada tahun 2050 berpotensi meningkatkan kebutuhan minyak nabati hingga 200 juta ton setiap tahun untuk kebutuhan pangan, energi dan juga barang kebutuhan sehari-hari. Maka dari itu, praktik perkebunan sawit berkelanjutan adalah solusi bagi pemenuhan kebutuhan dunia akan minyak nabati.
"Minyak kelapa sawit dapat menjadi solusi jangka panjang karena produktivitasnya yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, Dengan lahan yang lebih sedikit, mampu menghasilkan minyak nabati yang lebih banyak," ujar Chairman Sinar Mas Agribusiness & Food, Franky Oesman Widjaja, saat memberikan sambutan pada Indonesian Palm Oil Conference 2020 New Normal: Palm Oil Industry in the New Normal Economy, Kamis (3/12).
Franky menambahkan pengembangannya melalui skema Inclusive Closed Loop yang tidak saja meningkatkan produksi secara berkelanjutan, namun juga meningkatkan kesejahteraan para petani, dan mengurangi pelepasan emisi. Skema ini telah dijalankan oleh perusahaan/lembaga yang tergabung di dalam Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture (PISAgro) dan telah menjangkau hingga satu juta petani pada awal tahun 2000.
"Hasilnya, produktivitas mereka meningkat antara 40 sampai 76 persen, sementara pendapatan bertambah antara 50 hingga 200 persen, bergantung pada jenis komoditasnya."
Melalui kemitraan lintas pihak, petani benar-benar mendapatkan pendampingan penuh dari perusahaan. Franky optimistis komoditas minyak sawit dapat berkontribusi mengantarkan Indonesia menjadi ekonomi ke tujuh dunia terbesar dari segi GDP di tahun 2030, sebagaimana analisis sejumlah lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF), McKinsey dan Price Waterhouse.
Franky menambahkan, petani kecil yang mengelola hingga 41 persen dari total 16,38 juta hektar perkebunan kelapa sawit, adalah kelompok yang paling rentan dalam rantai nilai.
Produktivitasnya rendah, rata-rata 2 hingga 3 ton per hektar per tahun, jauh tertinggal dibandingkan standar industri yang 5 hingga 6 ton per hektar per tahun.
"Pohon kelapa sawit di Indonesia saat ini banyak yang sudah tua, dan banyak pula yang tidak memakai benih bersertifikat sehingga perlu peremajaan," ujarnya.
Pemerintah telah mempromosikan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk mengganti tanaman sawit yang sudah tidak produktif agar roduktivitasnya sesuai standar industri, dengan skema inclusive closed loop.
"Dengan model kemitraan ini, petani kecil mendapatkan bimbingan praktik budidaya pertanian yang baik dan ramah lingkungan, benih unggul bersertifikat, teknologi tepat guna, literasi keuangan, akses pendanaan berikut jaminan penyerapan hasil produksi oleh perusahaan pendamping (off-taker) yang berlangsung di bawah naungan koperasi," tutupnya.
Sumber: Liputan6.com
Komentar Via Facebook :