Berita / Pojok /
Lika-liku ISPO Bagi Pekebun
Permentan No.38 Tahun 2020 & Perpres No.44 Tahun 2020 adalah sama-sama lembar yang berisi aturan main tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Regulasi yang telah mewajibkan para pelaku perkebunan kelapa sawit memiliki sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dengan segala syarat & pemenuhan 7 prinsip ISPO itu sendiri.
Bagi para pekebun kelapa sawit, regulasi ini menjadi wajib 5 tahun sejak aturan itu ditandatangani.
Kalau dihitung mundur, berarti kurang dari 4 tahun lagi semua pekebun kelapa sawit sudah tersertifikasi ISPO yang membawa embel-embel "Kedaulatan Negara" itu.
Di sinilah masalah itu kemudian muncul. Sebab sesungguhnya para pekebun kelapa sawit sangat kesulitan memenuhi 7 prinsip ISPO itu.
Sangat kesulitan karena sampai sekarang; pekebun masih dihadapkan pada persoalan legalitas lahan dengan setumpuk keruwetan regulasinya serta pengurusan yang lintas sektoral.
Sistem Rantai Pasok (SRP) yang masih tradisional, budidaya perkebunan yang masih belum memenuhi standar Good Agricultural Practices (GAP), makin parah lagi kalau dikaitkan dengan Best Management Practices (BMP).
Karena telah menjadi syarat, semua persoalan ini tentu harus diselesaikan sendiri oleh para pekebun (masyarakat) itu.
Sementara kita semua paham bahwa urusan yang bersinggungan dengan regulasi, akan sulit atau malah tidak akan mungkin selesai oleh masyarakat tanpa campur tangan langsung pemerintah.
Yang membuat situasi menjadi runyam, pemerintah, baik di Dinas Kabupaten, Provinsi bahkan di Pusat masih kurang paham dengan permasalahan yang ada di lapangan.
Termasuk kurangnya pemahaman terhadap regulasi yang sangat banyak dan masih terus keluar itu. Baik itu PP, Perpres, Inpres, Permen, dan lain-lain.
Selain kurang paham, ada juga yang belum update dengan regulasi yang baru keluar, alhasil muncul pemahaman berbeda terhadap sebuah regulasi hingga kemudian menjadi masalah baru di lapangan.
Salah satu contoh adalah persoalan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Ada yang bilang STDB bisa sebagai pengganti izin perkebunan bagi pekebun yang berhubungan langsung dengan PAD daerah. Ada pula yang bilang STDB hanya sebagai surat keterangan.
Kelembagaan pekebun, baik Kelompok Tani (Poktan), Gapungan Kelompok Tani (Gapoktan) maupun koperasi yang belum menguat, juga turut menjadi masalah. Sebab sangat tidak mungkin kita mensertifikasikan pekebun tanpa kelembagaan yang kuat.
Terkait ISPO, sampai hari ini belum ada sosialisasi massif kepada pelaku perkebunan termasuk pekebun akan arti pentingnya ISPO yang dikaitkan dengan Kedaulatan Negara plus sangsinya itu.
Pembiayaan untuk pelatihan dan sosialisasi ISPO pun masih kurang (kalau kita malu mengatakan sangat sedikit).
Dari semua uraian di atas tadi, akan masih jauh panggang dari api --- mimpi akan tetap menjadi mimpi --- kalau permasalahan yang ada itu tidak kita selesaikan segera dan bersama-sama, tanpa kekompakan multi pihak.
Sebab sesungguhnya tak ada yang sulit kalau benar-benar dibuat mudah. Ambil contoh legalitas lahan kebun. Ini mudah diselesaikan apabila lintas sektor jemput bola dan mengesampingkan ego.
Tapi kalau terus mempertahankan ego sektoral tadi --- tidak mau saling jemput bola --- maka buyarlah niat baik pemerintah untuk setting ulang perkebunan kelapa sawit yang kontribusinya sudah jelas bagi devisa negara dan menyelamatkan Indonesia itu.
Gus Dalhari Harahap
Pemerhati pekebun sawit
#banggamenjadipekebun
Komentar Via Facebook :