https://www.elaeis.co

Berita / Bisnis /

Malapetaka Aturan Kemendag

Malapetaka Aturan Kemendag

jejeran minyak goreng nabati selain sawit di sebuah ritel di Pekanbaru, Riau. foto: aziz


Jakarta, elaeis.co - Kalau menengok siaran pers yang ditebar oleh Kementerian Perdagangan dua hari lalu itu, mestinya aturan main Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) itu berlaku sejak 1 Februri 2022. 

Sebab tiga macam Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng; curah Rp11.500 per litar, kemasan sederhana Rp13.500 per liter dan kemasan premium Rp14 ribu per liter itu baru akan berlaku sejak 1 Februari 2022.

Tapi apa lacur, mulai kemarin, persis sehari pengumuman DMO dan DPO itu berlalu, harga Crude Palm Oil (CPO) di pasar lokal langsung bergejolak. Ini terjadi lantaran Buyer yang notabene pemilik refinery minyak goreng, pada 28 Januari 2022 sudah menebar tender pembelian CPO lokal yang gila-gilaan. 

Di Belawan misalnya, Sinar Mas mematok harga Rp11 ribu, Best Rp10 ribu, Musim Mas Rp8.455 dan Ctr Rp15.402.  

Di Dumai, SIIP Rp13.400, IMT Rp11 ribu, IBP Rp8.455, PMA Rp14 ribu dan Ctr Rp15.402. Hanya saja semua harga pembelian itu tidak diterima alias WithDraw (WD) oleh penjual yang notabene PT Perkebunan Nusantara 3 dan 5.  

Harga itu tidak di-accept lantaran sehari sebelumnya harga lokal CPO masih tinggi, masih di atas Rp15 ribu per kilogramnya. Dan Ideal price list dalam negeri masih Rp15.402.

Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Gus Dalhari Harahap bilang, tender kemarin itu adalah model harga paling gila dalam sejarah industri kelapa sawit di Indonesia. 

"Lihat, itu perusahaan-perusahaan yang menawar, rata-rata pemain refinery. Mereka membikin harga seperti itu dengan dalih adanya pembebanan dari DMO. Padahal sesungguhnya enggak begitu," kata lelaki 51 tahun ini saat berbincang dengan elaeis.co tadi malam. 

DMO itu kata lelaki yang juga Ketua DPW Apkasindo Sumatera Utara (Sumut) adalah total ekspor dikurangi 20%. Baik itu untuk CPO maupun Olein. Lantaran aturan main DMO-nya seperti itu, mestinya kata Gus, harga pasar diberlakukan dulu baru dikurangi dengan yang 20% itu. 

"Ini kan enggak, pokoknya price list yang ditebar itu ya semuanya untuk DMO. Kalau kayak begini ceritanya, untung mereka gila-gilaan lho. Dari minyak goreng mereka sudah untung, apalagi ekspor yang notabene harga internasional justru naik terus. Untungnya gila-gilaan," ujarnya. 

Gus kemudian membikin contoh. Harga DPO CPO Rp9.300, sementara harga CPO dunia sekitar Rp15.400. "Ini selisihnya sudah sekitar Rp6000. Ambil saja minimal cargo ekspor 6000 ton. 6.000.000 x Rp6000, sudah berapa untungnya," Gus menghitung. Itu baru dari CPO, belum lagi dari Olein. 

Padahal kata Gus, keputusan Kemendag soal DMO dan DPO tadi baru akan berlaku per 1 Februari 2022, bukan sejak kemarin. "Pendistribusian minyak goreng hingga tanggal 31 Januari, masih boleh mengklaim selisih harga ke BPDPKS. Klaim itu sesuai dengan berapa yang dijual. Tapi pertanyaan yang kemudian muncul, apakah minyak goreng yang didistribusikan itu betul untuk stabilisasi, belum tau juga. Jangan-jangan dia sudah jual yang Rp18000, tapi dia klaim lagi yang selisi Rp4000," Gus menduga. 

"Sekarang apa ada jaminan produk dia itu dibuatkan untuk subsidi? Wong antara minyak subsidi dan tidak subsidi enggak ada pembedaan kemasan kok," tambahnya. 

Oleh kelakuan para buyer tadi kata Gus, harga Tandan Buah Segar (TBS) petani akan anjlok, sebab rantai pasok bermuara pada para pembeli CPO tadi. "PKS yang membeli TBS masyarakat, CPO nya dijual ke buyer besar tadi. Artinya, mereka juga terkena imbas dari harga itu," ujarnya. Busyeeet!


 

Komentar Via Facebook :