https://www.elaeis.co

Berita / PSR /

Mantap! Umur 42 Bulan, Kebun PSR di Kolaka ini Sudah Menghasilkan TBS 2,8 Ton Perhektar Perbulan

Mantap! Umur 42 Bulan, Kebun PSR di Kolaka ini Sudah Menghasilkan TBS 2,8 Ton Perhektar Perbulan

Juwahir (baju putih celana pendek) saat bersama Tim PSR Kolaka dan Disbun Sulawesi Tenggara. foto: ist


Kolaka, elaeis.co - Lelaki 49 tahun itu nampak sumringah saat mendengar omongan dua orang anggotanya kalau  tanaman kelapa sawit hasil program Peremajaan Sawit  Rakyat (PSR) April 2021 lalu, sudah menghasilkan 1,4 ton Tandan Buah Segar per hektar, sekali panen. 

Ini berarti, hasil sehektar kebun itu dalam sebulan yang dipanen dua kali, telah mencapai 2,8 ton. Padahal kebun yang ditanami bibit Simalungun dan Dampi itu, baru berumur 42 bulan. 

"Iya memang dapat segitu. Perawatannya bagus, di lahan datar dekat kali pula," kata Ketua Kelompok Tani (Poktan) Mulya Sari Desa Kukutio, Kecamatan Watubangga, Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara saat berbincang dengan elaeis.co, tadi pagi. 

Juwahir (baju putih celana pendek) bersama Tim PSR. foto: ist

Namanya Juwahir. Kelas 2 Sekolah Dasar (SD) dia ikut orangtuanya transmigrasi umum dari Jember Jawa Timur (Jatim) ke Kolaka. Waktu itu tahun 1983.

Ayah tiga anak ini tidak menampik kalau sebahagian besar anggota kelompoknya yang berjumlah 80 orang, produksinya masih di bawah 1 ton sekali panen. "Tapi saya yakin akan naik teruslah. Yang penting dirawat dengan baik," Juwahir yakin. 

Jumat pekan lalu kata Juwahir, baru ketahuan hasil produksi anggotanya itu, persis saat tim Tim Peremajaan Sawit Rakyat dari Dinas Perkebunan dan Peternakan (Disbunak) Kolaka dan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Utara (Sultra) bertandang ke sana, mengecek perkembangan tanaman. Pada pertemuan itulah para anggotanya menyampaikan hasil produksi masing-masing.

Sebetulnya, quota PSR yang didapat oleh Poktan Mulya Sari mencapai 250 hektar. Tapi lantaran program itu masih asing bagi petani di sana, hanya 125 hektarlah yang baru kesampaian diremajakan. 

"Waktu itu kami masih kebagian hibah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS) yang Rp25 juta per hektar. Pada tahap PO plus sekali perawatan, duit itu sudah habis. Selanjutnya, para petani berupaya sendiri membesarkan dan merawat tanaman kebunnya, sampai sekarang," Juwahir mulai berkisah. 

Biar ada penopang hidup sebelum sawit menghasilkan, Poktan kemudian mengajukan bantuan tanaman sela ke Dinas Pertanian Kolaka. 

"Dari bantuan itulah kami bisa dapat benih jagung dan tanaman sela lain. Termasuk pupuk. Hasil tanaman sela ini lumayanlah," ujarnya. 

Sedari awal, warga transmigrasi di Desa Kukutio ini sebenarnya bukan petani sawit. Mereka didatangkan oleh pemerintah ke sana untuk menjadi petani coklat. Saat itu, mereka dibina oleh PTPN XXIII. 

Selain mendapatkan rumah dilahan 0,5 hektar, para warga transmigrasi ini juga dapat Lahan Usaha (LU) 1 satu hektar dan LU 2 0,75 hektar. 

Tapi sayang, coklat keburu dihajar oleh Penggerek Buah Kakao (PBK). Perusahaan gulung tikar, petani pun terlantar. Dari sinilah kemudian para petani mulai banting stir, bertanam sawit. 

Juwahir sendiri tidak tahu pasti berapa luas total lahan usaha transmigrasi Desa Kukutio itu. Yang dia tahu, hanya sekitar 500 hektarlah yang tanam sawit secara mandiri, sisanya jadi mitra perusahaan sawit; PT. Damai Jaya Lestari. 

Yang tanam mandiri tadi, tidak bisa berbuat banyak. Sebab rupanya, bibit yang ditanam adalah bibit abal-abal. Produksinya kurang dari 10 ton per hektar per tahun. Dari sinilah kemudian Juwahir dan kawan-kawan mengajukan kebunnya untuk diremajakan lewat dana hibah BPDPKS tadi.


   

Komentar Via Facebook :