https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Membantah Tudingan di Lantai 38

Membantah Tudingan di Lantai 38

Delegasi Petani Indonesia usai bertemu dengan delegasi Uni Eropa. Foto: Ist


Pekanbaru, elaeis.co – Pertemuan di lantai 38 Gedung Astra Jakarta Kamis (7/11) itu tergolong lama, lebih dari dua jam. Dan selama pertemuan itu nyaris saban saat berseliweran kesan yang muncul bahwa selama ini kelapa sawit lah yang menjadi dalang rusaknya hutan primer di Indonesia. 

Sementara fakta di lapangan justru berkata lain, sesungguhnya, kelapa sawit justru menjadi tanaman paling dominan sebagai penyelamat lahan-lahan yang sebelumnya sudah menjadi ranggas ulah jor-jorannya izin konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang pernah di umbar oleh pemerintahan di masa lalu. 

Dan tak sedikit pula, sisa-sisa tegakan kayu alam di konsesi HPH yang sudah ditinggal pemiliknya, digunduli habis oleh korporasi lain yang berdalih telah mengantongi izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). 

Kayu-kayu alam itu kemudian dikirim ke pabrik pulp dan tak sedikit pula dijual ke luar negeri. Jadi tak aneh kalau Ahmad Zazali yang saat itu menjabat Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mengatakan bahwa pada rentang waktu 1990-2002, luas hutan Riau yang habis sudah mencapai 2 juta hektar. Laju penggundulan tertinggi terjadi pada 1999-2002. 

Lantas pada rentang waktu 2002-2005, tutupan hutan Riau kembali hilang sekitar 400 ribu hektar. Saat itu, ada sekitar 34 perusahaan pemegang Izin Usaha pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Riau. Ini berarti pada rentang waktu 1990-2005, luas hutan Riau yang hilang sudah mencapai 2,4 juta hektar. 

Data Dinas Perkebunan Provinsi Riau, pada 1990, luas kebun kelapa sawit di Riau, masih hanya sekitar 230.187 hektar. Dan pada tahun 2005, luas kebun kelapa sawit di Riau mencapai 1,4 juta hektar. 

Berdasarkan kronologis di Riau inilah kemudian Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Gulat ME Manurung membantah omongan enam orang delegasi Uni Eropa yang mengundangnya bersama Ketua Umum Sawit Masa Depan (SAMADE), Tolen Ketaren, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspek Pir) Setiyono dalam pertemuan bertajuk Discuss Sustainable Palm Oil and Bioenergy, With UE and Smallholders lebih dari dua jam tadi. 

Kebetulan Michael Bucki (Climate Change & Environment Counsellor) menanyakan kalau lahan yang sudah gundul sebenarnya sudah dihijaukan kembali tapi kemudian ditebangi untuk ditanami sawit. 

“Petani kelapa sawit tidak pernah menebangi hutan primer untuk ditanami sawit. Tapi kalau memanfaatkan lahan bekas HPH atau HTI yang sudah tidak berhutan lagi, iya. Lahan itu terlantar dan berpotensi menjadi objek kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Lahan semacam inilah yang  ditanami oleh petani sawit Indonesia,” terang Gulat. 

Jadi, kata Gulat tidak benar kalau sawit itu merambah hutan, tapi yang benarnya adalah sawit menyelamatkan hutan. “Sawit malah telah muncul sebagai tanaman Reforestasi. Hasilnya, lahan yang tadinya sudah terdegradasi, setelah ditanami sawit, biodiversity meningkat dan rasio Carbon dan Oksigen pun semakin bagus,” kata kandidat Doktor Ilmu Lingkungan ini serius. 

Selain Michael, ada Paula Abreu (Head of Unit, Renewables policy), Heino Marius (Deputy Head Of Division Southeast Asia) dan Laure Brachet (Desk Officer Southeast Asia Division) di sana. 

Pakar hukum kehutanan, DR Sadino, tak menampik apa yang dikatakan Gulat tadi. “Memang betul kok, sawit telah memproduktifkan lahan gundul yang dulu diklaim pemerintah sebagai hutan produksi. Hutan itu digunduli oleh pemegang konsesi, lalu dihijaukan oleh petani. Memang tidak ditanami pohon hutan, tapi sawit,” katanya. 


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :