Berita / Pojok /
Memberi Makan Tanah Air
Faktanya, jika pemupukan dihentikan diseluruh dunia, maka produksi makanan global diperkirakan akan turun 48%. Itu hasil perhitungan FAO. Perhitungan USDA juga menghasilkan angka yang kurang lebih sama.
Menambah jumlah pupuk memang sudah tidak lagi menambah produktivitas tanaman, atau kalaupun ada pertambahannya relatif kecil. Secara teknis dikatakan produktivitas marginal pupuk sudah mendekati nol.
Ini adalah juga fakta yang telah ditelaah dan didokumentasikan secara ilmiah. Namun jika pupuk ditiadakan atau dikurangi, penurunan produktivitas jelas nyata. Dan karenanya pupuk masih menjadi faktor yang 'farmers cannot live without'. Tapi disisi lain, pupuk dan pemupukan terus menerus juga menimbulkan masalah yang sangat serius.
Produksi ammonia --- bahan dasar pupuk Urea ---menyedot 1-3% konsumsi energi dunia, dan juga menggunakan gas alam yang banyak, padahal gas alam itu tidak terbarukan dan ketersediaannya semakin langka. Tambang phosphate juga semakin langka dan habis.
Dekomposisi kimia dari pupuk juga menimbulkan gas rumah kaca yang dikabarkan 300 kali lebih berbahaya dari CO2. Pemupukan diperhitungkan berkontribusi 5% dari pemanasan global.
Bahkan polusi kimia dari pemupukan telah membuat banyak tanah pertanian kehilangan kesuburannya. Dan polusi kimia yang terbawa aliran air ke sungai dan laut telah menciptakan apa yang disebut sebagai 'death zone', zona mati, suatu daerah yang praktis tanaman dan hewan – apalagi manusia – tidak dapat hidup.
Ada 500an 'death zone' yang telah teridentifikasi. Salah satu yang berskala besar adalah di muara Sungai Mississippi di Amerika Serikat, dengan 'death zone' seluas 22.600 km2 atau kira-kira 4 kali luas Pulau Bali.
Oleh sebab itu, sekitar 100 tahun setelah Haber Bosch tahun 1918 menemukan proses yang memungkinkan produksi pupuk ammonia menjadi layak secara ekonomi, dunia pertanian sudah mencanangkan 'perpisahannya' dengan pupuk anorganik.
Tentu proses itu tidak berjalan seketika, tetapi bertahap. Disadari proses itu juga penuh dengan kesulitan dan tantangan.
Namun tekad untuk suatu saat tidak lagi bergantung pada pupuk anorganik, bahkan batas waktu untuk tidak lagi menggunakan pupuk anorganik sama sekali, sudah jelas dan tegas.
Beberapa langkah telah dilakukan. Dimulai dengan kampanye dan pendidikan "to feed the soil", memberi makan tanah (dan air). Kampanye ini menekankan bahwa yang penting, yang utama dan terutama, adalah tanahnya (dan airnya).
Baca juga: Nanggala, Kemenangan dan Pencapaian
Pupuk memang (masih) perlu ditambahkan ke tanah tetapi harus diposisikan sebagai 'memberi makan' agar tanah menjadi "sehat, segar, hidup, dan kuat". Sebagaimana makanan pada manusia, jika berlebihan akan membuat penyakit dan akan menyebabkan produktivitas berkurang, menjadi lemas dan malas.
Lalu menerapkan prinsip-prinsip dasar: tepat sumber, pupuk harus datang dari sumber yang tepat, sebisa mungkin yang 'renewable'; tepat kecepatan (rate), laju pemberian pupuk dilakukan dengan perhitungan dan aplikasi tingkat presisi; tepat waktu, pada saat yang benar-benar diperlukan oleh tanaman; dan tepat tempat, dibagian mana dari tubuh tanaman pupuk itu akan diserap secara optimal.
Riset-riset tentang pupuk dan pemupukan juga semakin banyak dilakukan diberbagai belahan dunia.
Agendanya jelas: bagaimana memproduksi pupuk dengan sumberdaya yang lebih efisien dan terbarukan, bagaimana mendalami proses aplikasi pupuk yang terbaik sesuai jenis tanah plus jenis dan varietas tanaman, bagaimana mengurangi kehilangan pupuk hingga menjadi seminimal mungkin, bahkan hingga pengembangan genetika dan fisiologi tanaman yang dapat menyerap pupuk dan mengkonversi pupuk menjadi produk yang diinginkan secara lebih efisien.
Jenis-jenis pupuk baru terus dihasilkan, bahkan juga dalam bentuk substansi yang mungkin belum terkategori sebagai 'pupuk' pada masa lalu. Diantara beberapa yang menonjol adalah penggunaan 'microbiome' atau berbagai microba --- jasad renik --- yang hidup di tanah.
Beberapa bakteri telah diketahui membantu menyediakan nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Demikian juga dengan pendekatan yang membuat fisika tanah, biologi tanah, dan kimia tanah lebih sehat dan subur. Teknologi nuklir, dipadukan dengan bioteknologi, dan ilmu biodigital telah membuat semakin banyak terobosan.
Kita harus segera mengambil langkah yang didasarkan pada pandangan kedepan. 'Re-inventing' pupuk dan pemupukan tampaknya merupakan jalan keluar, baik untuk mengurangi resiko finansial petani, meningkatkan produktivitas, menjaga stabilitas produksi, dan mengurangi dampak buruk pemupukan yang telah terjadi selama ini.
Dana subsidi pupuk jelas ada dan besar jumlahnya. Akan lebih baik jika dana subsidi itu diarahkan untuk membantu petani secara langsung serta membiayai riset, penelitian, dan pengembangan pupuk dengan nilai dana yang cukup jumlahnya. Disisi lain biarkan harga pupuk mengoreksi tingkat penggunaannya yang sekarang sudah cenderung berlebih.
Semoga kita tidak terus menerus membiayai hal yang justru akan merusak masa depan kita sendiri, tetapi dapat bijak untuk 'memberi makan tanah air' kita dengan sehat dan berkelanjutan. Feed the soil (in a right way), and the soil will feed us (sustainably)...
Bayu Krisnamurthi
Lahir di Manado 18 Oktober 1964. Doktor ilmu ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). Wakil Menteri Pertanian, Wakil Menteri Perdagangan di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Staf Ahli Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Penanggulangan Kemiskinan 2005-2008. Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) 2015-2017.
Komentar Via Facebook :