Berita / Feature /
Mempertanyakan Amanah Lagu Kebangsaan
Jakarta, elaeis.co - Kawasan hutan. Lima tahun belakangan dua kata ini sudah jadi momok bagi para petani kelapa sawit. Ini terjadi setelah otoritas kehutanan mempersoalkan sawit yang disebut ditanam pada kawasan hutan.
Belakangan, petani merasakan kalau momok ini lebih parah ketimbang pandemi covid-19 setelah sejumlah oknum memanfaatkan klaim kawasan hutan tadi menangguk duit.
Sederet petani kelapa sawit di sejumlah provinsi di Indonesia terang-terangan mengaku diperas oleh ragam oknum dengan dalih sawit dalam kawasan hutan. Tak hanya diperas, malah ada yang jadi 'ATM berjalan'.
Medio Oktober-November 2020, petani kelapa sawit nampak sumringah setelah Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) disahkan menjadi UU nomor 11 tahun 2020.
Mereka sumringah lantaran di aturan main 'sapu jagat' setebal 1.187 halaman itu disebutkan bahwa persoalan petani kelapa sawit yang ada dalam klaim kawasan hutan akan diberesi, tak ada sanksi pidana.
Abdul Wahid, anggota Badan Legislasi DPR RI yang ikut membahas dan mengesahkan UUCK itu juga menguatkan bahwa kebun kelapa sawit milik perorangan yang berada dalam klaim kawasan hutan, baik itu Hutan Produksi Konversi (HPK), Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) akan dilepaskan dari klaim kawasan hutan.
"Kalau luasannya cuma 5 hektar, petani cukup melaporkan kebunnya kepada pemerintah, biar segera diukur. Laporan itu harus dilengkapi dengan peta. Tapi kalau kebun sawit milik korporasi, aturannya lain lagi. Perusahaan akan dikenai denda. Dendanya bervariasi, antara Rp5 juta-Rp15 juta per hektar," rinci Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Riau ini.
Lalu jika kebun kelapa sawit itu berada di klaim kawasan hutan lindung dan konservasi, pemerintah akan memberikan toleransi selama satu daur.
"Setelah satu daur, lahan itu harus dikembalikan ke Negara," ujar lelaki asal Indragiri Hilir (Inhil) ini.
Terakhir, solusi bagi kebun perorangan yang tumpang tindih dengan konsesi atau Hak Guna Usaha (HGU) kata lelaki 40 tahun ini adalah luas HGU atau Konsesinya yang dikurangi, bukan petani kelapa sawitnya yang diusir.
Hanya saja sumringah para petani kelapa sawit ini tidak bertahan lama. Sebab menurut mereka apa yang dibilang Wahid dan apa yang ada di dalam UUCK tadi bertolak belakang dengan apa yang sedang dibahas di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait kebun kelapa sawit itu.
Ini ketahuan dalam sederet webinar-webinar yang digelar dengan dalil menyerap aspirasi rakyat atas RPP itu.
Bagi praktisi perkebunan dan pertanian, Wayan Supadno, sebetulnya pemerintah tak perlu ngalor-ngidul membikin dalil tentang kawasan hutan tadi.
"Bahasa singkatnya begini saja; pemerintah, lebih senang melihat semak belukar tapi masyarakatnya miskin, atau masyarakatnya makmur sejahtera, bisa membangun Sumber Daya Manusia (SDM) nya lantaran berkecukupan pangan dan sekolahnya oleh hasil panen sawit?" lelaki 53 tahun ini menyodorkan pilihan.
Kalau kemudian pemerintah lebih memilih lahan itu jadi semak belukar setelah ditinggal para pelaku ilegal loging, teruslah rusuhi petani itu.
"Tapi ingat, kalau itu dilakukan, pemerintah musti belajar lagi hakekat, tujuan dan cita-cita kemerdekaan Bangsa ini, baca ulang mukadimah dan hakikat kemerdekaan itu," ujar ayah tiga anak ini.
Sebaliknya jika pemerintah konsisten terhadap cita-cita kemerdekaan bangsa, negara adil makmur sejahetra, bangunlah jiwa raganya seperti yang dibikin di lagu kebangsaan itu, "Maka jangan lagi mengganggu petani sawit," tegasnya.
Sebab kata Mayor purnawirawan TNI ini, petani hanya ingin hidup, membangun keluarganya, membangun SDMnya, menata hidup berkecukupan supaya makannya sehat, supaya cerdas, supaya kompetitif ke depan.
"Kalau ekonomi tidak diperhatikan, akan berdampak serius pada kesehatan, stunting dimana-mana dan ini akan berdampak serius pada kecerdasan masyarkat yang pada akhirnya tidak kompetitif. Alhasil, bangsa ini hanya akan diteruskan oleh SDM yang tidak unggul, SDM yang siap kalah bersaing dengan negara lain. Apa mau begitu?" anggota Dewan Pakar DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) ini kembali bertanya.
Tak hanya klaim kawasan hutan tadi yang dipersoalkan, lelaki yang jamak disapa Pak Tani ini juga mengkritisi soal luas lahan petani yang dibatasi cuma 5 hektar.
"Enggak betul itu. Sumber daya alam adalah untuk kebaikan sumber daya manusia, jangan dibalik!," pintanya.
"Sumber daya alam yang ada pada kita sesungguhnya untuk kebaikan sumber daya manusia itu sendiri, dan pembangunan sesungguhnya adalah pembangunan sumber daya manusia," tambahnya.
Kalau kemudian dibikin pilihan kata Wayan; kaya sumber daya manusia, kayak sumber daya alam atau kaya tekhnologi inovasi?
"Yang top posisi itu adalah kaya sumber daya manusia. Itulah makanya perlu dibangun sumber daya manusia yang hebat. Jangan dibolak-balik. Kalau petani cuma kebagian 5 hektar, apa yang mau dia bangun? Soekarno-Hatta itu orang hebat, jangan kita ingkari apa yang sudah dibangun mereka untuk bangsa ini," pintanya.
Komentar Via Facebook :