Berita / Feature /
Menggiring 'Tumbal' Kawasan Hutan
Jakarta, elaeis.co - Persis 18 Oktober 2004 silam, Presiden Megawati Soekarnoputri meneken Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.
Peraturan yang hanya berisi 50 pasal ini dibikin sebagai aturan pelaksana dari UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Kalau dipelototi pasal demi pasal, orang awam sekalipun akan paham kalau peraturan ini sengaja dibikin untuk mengatur mana hak negara dan mana hak rakyat.
Begitu juga tentang kewajiban penyelenggara kehutanan, Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang musti rutin menginventarisasi hutan.
Satu hal yang patut digarisbawahi, dalam peraturan ini, Negara sangat menghormati hak-hak rakyat. Itulah makanya saat Negara membutuhkan satu hamparan untuk ditetapkan sebagai kawasan hutan, hak-hak rakyat yang ada di sana, wajib diselesaikan tanpa merugikan rakyat.
Kalaupun misalnya setelah kawasan hutan itu ditetapkan ternyata masih ada hak rakyat di dalamnya, Negara tetap akan menyelesaikan hak itu tanpa merugikan rakyatnya.
Itulah makanya padal Pasal 22 ayat 2 disebutkan; Dalam hal penataan batas kawasan hutan temu gelang tetapi masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada didalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan.
Nah, mestinya 16 tahun menjadi waktu yang lebih dari cukup bagi penyelenggara perhutanan untuk menata tutupan hutan yang ada di 1.904.569 km² daratan Indonesia.
Termasuklah membikin patok-patok pemisah antara hak Negara dan rakyat, setelah kedua belak pihak bersepakat.
Begitu juga dengan berapa banyak tutupan hutan yang berkurang, akan sangat cepat bisa diketahui lantaran menteri, gubernur, bupati maupun wali kota, tiap lima tahun melakukan inventarisasi.
Tapi naas, aturan ini tinggal aturan. Penyelenggara kehutanan ditengarai sangat serampangan menunjuk hingga menetapkan kawasan hutan.
Buktinya ribuan perkampungan rakyat berada dalam klaim kawasan hutan. Tengoklah di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau, ada 9 desa di sana yang diklaim dalam kawasan Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling.
Di Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Bengkalis, ratusan desa juga diklaim kawasan hutan. Bahkan Kantor Bupati Indragiri Hulu, Kantor Wali Kota Pekanbaru dan Kantor Gubernur Riau, sempat lama berada dalam klaim kawasan hutan itu.
Di Kalimantan Tengah (Kalteng) ada pula sekitar 700 desa dalam klaim kawasan hutan. Sekitar 92 desa di antaranya berada dalam klaim kawasan Hutan Lindung Sebangau.
Serampangannya penunjukan dan penetapan kawasan hutan tadi kian di perparah oleh banjirnya izin-izin korporasi perhutanan dan perkebunan yang ditengarai tidak pernah melakukan penataan batas. Seluas apa lahan yang ditunjuk, itulah yang diklaim.
Ada atau tidak hak masyarakat dan pemukiman masyarakat di sana, tinggal selesaikan dengan cara kekerasan. Alasan penyelesaian sederhana saja; ini areal izin perusahaan!
Di Kalteng sendiri Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) setempat mencatat lebih dari 240 kasus konflik masyarakat dengan perusahaan sepanjang 2018-2020.
Kasus unik belakangan muncul pula; Hak rakyat yang sudah bersertifikat dan Hak Guna Usaha (HGU) hasil pelepasan kawasan hutan, diklaim jadi kawasan hutan.
Imbasnya, banyak rakyat yang tak bisa memanfaatkan nilai ekonomis lahannya dan banyak rakyat yang kemudian menjadi stres setelah diuber-uber oleh perusahaan yang mengklaim lahannya.
Celakanya, penyelenggara kehutanan gampang saja memberikan tutupan hutan yang sudah dikapling kepada korporasi untuk ditebangi dengan dalih Hutan Tanaman Industri.
Padahal di Pasal 1 ayat 7 PP 44 2004 itu jelas-jelas disebutkan bahwa; Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. (pengertian setelah putusan MK 45/2011).
Anehnya, sengkarut yang sudah berlangsung lama ini seolah-olah sah di mata hukum. Malah oknum-oknum memanfaatkan keserampangan itu untuk mendulang duit, khususnya dari petani kelapa sawit yang diklaim dalam kawasan hutan. Banyak petani kelapa sawit kemudian jadi "ATM Berjalan".
Saat masalah begitu runyam, muncullah Peraturan Presiden nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Persoalan Tanah di kawasan hutan.
Peraturan ini boleh dibilang mandul hingga kemudian muncul lagi aturan lain yang menggiring hak-hak rakyat untuk dijadikan perhutanan sosial, jika rakyat masih mau dengan lahan itu.
Sampai di sini, siapa kemudian yang musti dipersalahkan, rakyat kah, atau penyelenggara kehutanan?
Belakangan, muncul Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) Nomor 11 tahun 2020. Tak kepalang senangnya hati petani kelapa sawit oleh kehadiran aturan baru ini.
Wajar mereka senang sebab yang selama ini menjadi bulan-bulanan di antah berantah bumi pertiwi ini, mereka. Tengok sajalah pernyataan Kementerian Kehutanan; ada 3,4 juta hektar kebun sawit dalam kawasan hutan. Sekitar 70 persen milik petani.
Tapi rasa senang itu hanya sebentar. Sebab Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) UUCK terkait perkebunan yang beberapa hari belakangan sengaja dimintai aspirasi rakyat, membikin mereka terbelalak.
Dibilang terbelalak lantaran klaim kawasan hutan itu teramat menonjol. Hak rakyat yang berada dalam klaim kawasan hutan, dibilang keterlanjuran.
Oleh keterlanjuran itu, petani kelapa sawit musti membayar denda yang jumlahnyatak masuk akal. Sudahlah begitu, hak petani kelapa sawit inipun dibatasi, cuma 5 hektar.
Kalau dirunut kembali ke PP 44 2004 tadi, mestinya penyelenggara kehutananlah yang musti membayar denda. Sebab oleh keserampangannya, hak-hak petani terkebiri dan mereka tidak bisa optimal memenuhi hidup dan kehidupannya.
Tapi yang terjadi malah, seolah-olah petani kelapa sawit yang salah. Itulah makanya banyak orang menilai bahwa RPP cluster kehutanan ini jadi kedok bagi penyelenggara perhutanan untuk mengubur dalam-dalam kesalahannya di masa lalunya.
Apalagi setelah muncul kesan bahwa, apapun aturan main soal perhutanan, mulainya dari UUCK!
Dalam webinar yang digelar oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) kemarin, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Hardwinarto menyebut, undang-undang sebelumnya belum mengatur secara tegas keberadaan masyarakat terkait kawasan hutan. Itulah makanya penyelesaiannya belum optimal.
Pernyataan Sigit ini jelas-jelas bertabrakan dengan PP 44 tahun 2004 itu, peraturan yang dibikin untuk melaksanakan UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Apakah ini bukan aturan yang kuat?
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, berang mendengar omongan Sigit itu.
"Mereka yang tak menjalankan PP 44 tahun 2004 itu, petani pula yang disalahkan. Orang sudah turun temurun di desanya, dianggap pula satwa langka, dimasukkan dalam hutan suaka marga satwa. Pohon kelapa sawit orang sudah tinggi-tinggi, dibilang kawasan hutan, enak saja dia ngomong," rutuk Gulat.
DPP Apkasindo kata Gulat terang-terangan menolak isi RPP yang ada, termasuk urusan denda.
"Jujur, kami sangat mendukung UUCK, tapi RPP ini tidak. Sebab itu tadi, mereka yang salah tapi rakyat yang dipersalahkan. Kami enggak terima ini," tegasnya.
Pakar perhutanan IPB, Sudarsono Soedomo juga mengatakan kalau penunjukan kawasan hutan hingga penetapannya memang sangat serampangan.
Apa yang saat ini dikenal orang sebagai kawasan hutan kata lelaki 64 tahun ini sesungguhnya baru klaim sepihak oleh kekuasaan.
Bahkan hingga awal 1980-an kawasan hutan yang sesuai dengan Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) belum juga ada.
Alhasil, dicarilah jalan pintas melalui penyalahgunaan kekuasaan untuk membentuk Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
"Banyak kampung dan desa yang sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka tiba-tiba berada di dalam kawasan hutan. Bahkan Kota Pekanbaru dan Palangkaraya pernah menjadi bagian dari kawasan hutan itu," katanya.
Klaim sepihak ini kata Sudarsono, sudah banyak menimbulkan masalah sosial ekonomi rakyat yang tanahnya dirampas begitu saja oleh kekuasaan yang mengatas namakan negara.
"Rakyat dituduh melanggar hukum, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah rakyat yang digilas oleh hukum yang dijalankan oleh kekuasaan yang buta," tegasnya.
Komentar Via Facebook :