https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Menghormati Masyarakat Adat Tidak Cukup Dengan Memakai Pakaiannya

Menghormati Masyarakat Adat Tidak Cukup Dengan Memakai Pakaiannya

Ilustrasi masyarakat Suku Baduy (Kidnesia.com)


Jakarta, Elaeis.co - Pidato kenegaraan Presiden Jokowi di sidang tahunan MPR 16 Agustus 2021 terus mengundang komentar. Tidak hanya isi pidato, penampilan Jokowi yang mengenakan pakaian adat Baduy pun jadi topik pembahasan.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), termasuk yang menyoroti masalah pakaian itu. Menurutnya, penampilan Jokowi tersebut merupakan representasi dirinya yang sesungguhnya.

“Menjadikan pakaian adat masyarakat Baduy sekadar pembungkus badan, tapi Indonesia masih sangat jauh dari paradigma pembangunan ala Baduy yang begitu menghormati bumi,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Elaeis.co.

Dia lantas mengungkit Nawacita yang dulu gaungnya terdengar ke mana-mana, di mana ada sederet komitmen terkait keberpihakan kepada masyarakat adat.

Sebut saja melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat adat dengan meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. Kemudian komitmen melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam pada umumnya, mendorong penyusunan undang-undang terkait penyelesaian konflik-konflik agraria, dan membentuk komisi independen untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan.

“Namun sampai saat ini janji Nawacita belum terpenuhi satu pun. Bahkan perampasan wilayah adat terus terjadi. Sementara itu Satgas Masyarakat Adat menguap tidak tahu ke mana. Dan Undang-Undang Masyarakat Adat belum juga disahkan, bahkan terus melemah di DPR. Malah yang disahkan adalah Revisi Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja,” tandasnya.

Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rahma Mary juga menyindir tampilan presiden. “Menghormati masyarakat adat tidak cukup hanya memakai pakaiannya saja. Sementara pengakuan terhadap tanah, wilayah, asal-usul, dan budayanya diabaikan,” katanya.

Menurutnya, sampai saat ini kasus menggusuran dan penangkapan terhadap masyarakat adat masih terus terjadi. “88 persen konflik tanah dan sumber daya alam yang diadvokasi YLBHI-LBH tiga bulan terakhir berada di wilayah masyarakat adat. Apakah dengan mengenakan pakaian adat, presiden hendak merayakan kemenangan atas pengusiran masyarakat adat di bawah UU Cipta Kerja?” kritiknya lagi.

Menurutnya, keberpihakan negara terhadap masyarakat adat sebagai kelompok rentan dan selama ini cukup terabaikan adalah sebuah keharusan dan kemendesakan. Menjadi tanda tanya besar pada perayaan 76 tahun kemerdekaan RI sebagai negara demokratis, namun aspek rekognisi, penghormatan, perlindungan dan kepastian hukum terhadap para pemilik hak ulayat yang menjadi cikal bakal negeri ini, ternyata belum terpenuhi.

“Kita butuh dukungan yang lebih substansial dari pada sekadar kemasan dengan mempromosikan pakaian adat atau karya seni masyarakat adat lainnya,” tukasnya.

“Pemangku kebijakan, dengan semangat keberpihakan dan keadilan, sudah seharusnya memprioritaskan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang telah lama dinantikan sebagai sebuah kado kemerdekaan yang sejati,” Pdt. Jimmy Sormin, Sekretaris Eksekutif KKC-PGI, menambahkan.

Sementara itu, Direktur Perkumpulan HuMa Indonesia, Agung Wibowo, mengatakan, ada dua hal yang perlu ditekankan terkait posisi konstitusi dalam menghormati masyarakat adat. Pertama, pengakuan dan penghormatan masyarakat adat harus disertai dengan pengakuan dan penghormatan hak-hak tradisionalnya. Kedua, hak penguasaan negara terhadap sumber daya alam harus dan hanya boleh dilakukan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Dan saat ini pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan perintah konstitusi tersebut,” sebutnya.

Berdasarkan pada pandangan itu, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat yang terdiri dari AMAN, YLBHI, KKC-PGI, dan HuMa, mendesak untuk segera memastikan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sesuai dengan aspirasi masyarakat adat. Koalisi memandang bahwa draf RUU Masyarakat Adat yang ada di DPR saat ini tidak akan menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat adat, tetapi justru akan semakin menjauhkan  masyarakat adat untuk dapat menikmati hak-hak konstitusionalnya.

Komentar Via Facebook :