Berita / Pojok /
Menunggu Dinas Perkebunan di Bumi Balakka
Oleh : Nurdiansyah*
Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) adalah satu dari 33 kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Luasnya sekitar 3.918 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 225.621 jiwa. Mereka tersebar di 386 desa dan 2 kelurahan.
Sejak lama, mata pencaharian masyarakat di Bumi Balakka ini mayoritas dari hasil perkebunan dengan tiga komoditi unggulan; Karet (Havea brasiliensis L.), Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jaqc) dan Kakao (Theobroma cacao). Meski kemudian ada pula tembakau, aren, nilam dan kelapa.
Data Badan Pusat Statistik Sumut 2015 menyebutkan, luas tanaman karet pada Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) mencapai 13.702 hektar. Ini menjadi yang terluas di Sumut. Lalu untuk tanaman yang sudah menghasilkan (TM) mencapai 25.804 hektar. Dengan luasan segitu, kebun karet menghasilkan di Kabupaten Padang Lawas Utara menjadi yang terluas ketiga setelah Mandailing Natal dan Langkat.
Kelapa sawit pada Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) mencapai 9.365 hektar. Ini menjadi terluas kedua setelah Deli Serdang. Namun untuk Tanaman Menghasilkan (TM) 17.529 hektar, menjadi urutan kedelapan terluas di Sumut.
Dari deretan angka-angka di atas maka tak aneh kalau sektor perkebunan menjadi pemegang peranan paling penting bagi perekonomian masyarakat di Paluta. Sebab itu tadi, mayoritas masyarakat hidup dari sektor perkebunan itu.
Tapi beberapa tahun belakangan, labilnya harga jual Tandan Buah Segar (TBS) dan menukiknya harga getah karet membikin masyarakat kelimpungan. Akibatnya, daya beli masyarakat lesu, termasuk di pasar-pasar tradisional. Pengangguran semakin besar, status petani yang selama ini disandang sudah tidak jelas karena alih profesi.
Lantaran lesunya daya beli tadi otomatis berdampak pada pendapatan para pedagang, pengelola transportasi dan profesi lainnya. Dari kenyataan di atas bisa disimpulkan bahwa peran sektor perkebunan sangat berpengaruh pada sendi-sendi perekonomian masyarakat.
Masalah berikutnya adalah, diaku atau tidak, perkembangan pembangunan perkebunan di Paluta sangat lambat jika dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada di Sumut. Ketersediaan lahan yang cukup belum dimanfaatkan secara optimal demi mamacu peningkatan pembangunan perkebunan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan keterlambatan pembangunan sektor perkebunan itu. Pertama, rendahnya SDM petani untuk melakukan budidaya tanaman perkebunan lantaran kurangnya informasi tentang teknis budidaya tanaman perkebunan.
Kedua, pemeliharaan dan perawatan kebun petani belum optimal dan berkelanjutan lantaran kurangnya modal dan SDM petani. Pemanfaatan lahan tidur belum memadai lantaran pengetahuan petani untuk mengembangkan lahan masih rendah. Misalnya soal pemilihan komoditi yang dikembangkan sesuai dengan permintaan pasar dan agroklimat untuk komoditi selain kelapa sawit dan karet.
Berikutnya, pemerintah daerah kurang fokus menyikapi pengembangan potensi sumber daya sektor perkebunan untuk dikelola secara baik. Belum lagi bagaimana mengelola dan memanfaatkan lahan tidur.
Mestinya antisipasi terhadap kondisi tadi bisa cepat dilakukan jika ada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Dinas Perkebunan. Belum lagi lantaran perkebunan memang telah menjadi sektor unggulan di Paluta, menjadi sumber hidup orang banyak.
Jika Dinas Perkebunan ada, maka dinas ini akan fokus pada tugas pokok dan fungsinya; melaksanakan pembangunan perkebunan yang berkelanjutan. Tidak hanya akan mengoptimalkan potensi yang sudah ada, tapi Dinas Perkebunan juga akan bisa meningkatkan produksi yang selama ini masih tergolong minim jika dibandingkan dengan luas areal perkebunan yang ada itu.
Lalu dengan adanya Dinas Perkebunan, dinas ini tentu akan bisa optimal menggiring program nasional yang sekarang lagi hits; Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang pada 27 November 2017 lalu sudah dilaunching di Kota Tengah Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai.
Asumsi pemerintah pusat bahwa untuk meningkatkan dan mempertahankan hasil produksi ekspor turunan kelapa sawit (CPO, kernel dan lain-lain) perlu dilaksanakan PSR. Pemerintah memberikan duit cuma-cuma Rp25 juta perhektar untuk biaya PSR itu. Kekurangan biaya sampai menghasilkan bisa dipinjam dari dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau tabungan petani itu sendiri.
Paparan di atas hanya sebagian dari isu dan program yang berkembang yang kalau dilaksanakan akan berdampak baik pada peningkatan PAD. Dan tentu juga akan berdampak pada kemajuan daerah dan kesejahteraan petani itu sendiri.
Sekali lagi, sinergitas antara masyarakat, petani kebun dan pemerintah daerah musti ada. Dan sinergitas ini juga akan sangat bermanfaat terhadap upaya pengembalian sejarah peternakan di bumi Balakka.
Meski pada kenyataannnya sekarang padang pengembalaan yang dulu luas sudah tidak ada lagi, solusi untuk mengembalikan sejarah peternakan masih tetap ada. Caranya, Sinergikan antara pembangunan perkebunan dengan peternakan dengan cara bermitra dengan perusahaan swasta nasional yang ada di Paluta.
Dengan peran langsung pemerintah, koordinasi yang baik dan pembuatan komitmen yang bijak dan dapat diregulasikan dengan baik maka lahan perkebunan perusahaan swasta nasional bisa menjadi lahan untuk pengembangan potensi peternakan yang tentunya tidak akan merugikan salah satu pihak ( secara teknis akan diperjelas pada tulisan edisi berikutnya). Yang pasti saya yakin terobosan ini akan bisa membangkitkan kembali kejayaan peternakan di Bumi Balakka.
Sekali lagi penulis berpendapat bahwa untuk melaksanakan semua potensi dan tugas besar di atas sangat diperlukan wewenang dan kebijakan yang lebih tinggi; Dinas Perkebunan. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah Dinas Perkebunan Kabupaten Padang Lawas Utara tidak layak/layak/sangat layak dibentuk dan didukung keberadaannya? Cukup kami sebagai petani menjawab “ya sangat layak”.
Komentar Via Facebook :