Berita / Nusantara /
Menyoal Kawasan Hutan (2)
Kalau saja living law itu menjadi perhatian kata Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum & Kebijakan Kehutanan ini, dari awal otoritas kehutanan sudah menetapkan kawasan hutan. "Pas masyarakat membuka hutan dibiarkan, tanaman sudah menghasilkan, direcoki," sindirnya.
Penetapan ini sesuai dengan pasal 15 Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyebut bahwa penetapan kawasan hutan dilakukan melalui empat tahapan; penunjukan, pemetaan, penataan batas dan penetapan.
"Otoritas kehutanan tidak pernah melakukan penetapan terhadap kawasan hutan, yang ada hanya klaim kawasan hutan. Dari 2012-2014, dari sekitar 240 juta hektar kawasan hutan yang ditunjuk, baru sekitar 15-16 persen yang ditata batas. Belakangan, ada kemajuan, tapi saya meragu, sebab menurut saya kemajuan itu masih kemajuan mengklaim kawasan hutan," katanya.
Sadino kemudian mencontohkan di Riau, bahwa hingga saat ini belum ada yang namanya penetapan kawasan. "Yang ada hanya merubah judul peta biar seolah-olah itu sudah ditetapkan. Kasus semacam ini juga terjadi di Kalimantan," ujar Sadino.
Di sisi lain, mayoritas orang kecil, petani, tidak mengerti apa itu kawasan hutan. Dan masyarakat enggak bisa dipersalahkan lantaran mereka punya hak azazi untuk hidup dan punya living law dalam unity nya.
Semestinya kata Sadino, hak konstitusional masyarakat wajib dihormati. Itulah makanya apabila otoritas kehutanan melakukan tata batas pada satu hamparan, hak masyarakat harus dienclave tanpa syarat.
Sadino kemudian mencontohkan penunjukan satu lahan menjadi lapangan bola. "Kalau ada hak orang di tengah lapangan bola itu, harus diselesaikan. Enggak bisa seenaknya lapangan bola itu langsung dipakai sementara ada hak orang di sana," katanya.
Ada juga contoh lain yang sudah benar yang dilakukan oleh otoritas kehutanan kepada masyarakat yang disodorkan oleh Sadino.
Misalnya 25 ribu kepala keluarga yang ada di kawasan Gunung Pangrango dan Gunung Salak di Jawa Barat. "Mereka tetap berada di sana meski di dalam kawasan hutan. Hak konstitusional mereka dihargai, masyarakat di sana bebas beraktivitas tanpa harus dikungkung untuk tidak bisa berbuat apa-apa. Inilah yang benarnya," ujar Sadino.
Jadi, menurut Sadino, apabila ada masyarakat yang masih berada di kawasan hutan yang ditunjuk, maka hak masyarakat itu harus dihargai.
"Tak ada pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat di sana, yang ada cuma pelanggaran administrasi. Mereka tidak punya surat-surat. Nah di sini sebenarnya negara harus hadir, negara wajib hadir memberikan pelayanan terkait administrasi itu. Ingat, hukum kita tidak pernah mengangkangi hak masyarakat," tegasnya.
Jika kemudian di lapangan ada oknum yang ngotot dengan embel-embel kawasan tadi, sebaiknya kata Sadino, masyarakat melakukan class action, menggugat negara atas kengototan tadi. "Gugatan ini harus dikawal terus biar tidak masuk angin," pintanya.
Lalu kepada para penegak hukum Sadino berpesan untuk objektif menengok persoalan kawasan hutan ini. "Penetapan kawasan hutan tidak boleh hanya mengejar formalitas, tapi ada sederet tahapan yang benar yang mesti dilewati tanpa harus menggerus hak konstitusional masyarakat," katanya.
Dan dari sederet penjelasannya tadi, Sadino kemudian berpesan kepada Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) untuk tidak memilih opsi amnestiy soal kawasan hutan.
"Tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat, jadi enggak perlu memohon pengampunan. Permohonan pengampunan itu baru boleh diajukan ketika terjadi pelanggaran hukum. Yang lebih baik itu justru lakukan class action terhadap kebijakan oknum-oknum yang mengatasnamakan negara," pintanya.
Komentar Via Facebook :