Berita / Nusantara /
Merdeka dari Korupsi SDA, Perpanjangan Moratorium Sawit Jawabannya
Medan, Elaeis.co - Pengelolaan sumber daya alam, khususnya perkebunan kelapa sawit, sangat berpotensi menjadi ajang korupsi. Sejumlah pihak mendesak pemerintah menjadikan momentum HUT Kemerdekaan RI ke-76 sebagai titik balik untuk memerdekakan sektor usaha tersebut dari para koruptor.
Direktur Eksekutif Panah Papua, Sulfiyanto Alias, mengatakan, komitmen pemerintah membasmi korupsi SDA bisa direalisasikan dengan memperpanjang dan memperkuat Inpres Moratorium Sawit yang akan habis masa berlakunya bulan depan.
“Moratorium masih sangat dibutuhkan untuk mewujudkan tata kelola sawit berkelanjutan, mengoptimalkan pendapatan daerah, serta mencegah korupsi sektor sumber daya alam,” katanya lewat siaran pers yang diterima Elaeis.co, Rabu (18/8).
Di Provinsi Papua Barat, berpedoman pada inpres tersebut, pemerintah setempat telah mencabut 14 izin perusahaan perkebunan sawit yang sama sekali belum melakukan aktivitas di lahan yang sudah mendapatkan hak guna usaha (HGU). Tiga perusahaan lainnya, kata Sulfiyanto, berkomitmen untuk tidak melanjutkan kegiatan di areal HGU-nya.
Menurutnya, keberhasilan pencabutan izin tersebut tidak terlepas dari peran KPK melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA). “Ada rekomendasi KPK yang ditujukan kepada bupati untuk mencabut izin pelaku usaha yang tidak melakukan aktivitas sama sekali,” sebutnya.
Kenyataan yang terjadi di lapangan, tidak semua perusahaan itu rela izinnya dicabut.
Menurutnya, dua perusahaan, PT SAS dan PT IKS, mencoba beraktivitas kembali dengan cara mengusulkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Izin Pelepasan Kawasan Hutan dijadikan sebagai dasar oleh perusahaan untuk mengurus IPK. Perusahaan lain, PT RSP, bahkan lebih berani.
“Perusahaan itu tetap meneruskan kegiatan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Inilah pentingnya pengawasan ketat paska pencabutan izin,” tukasnya.
Direktur Eksekutif Lingkaran Advokasi & Riset (Link-AR) Borneo, Muh Eko Zanuardy, juga menilai inpres tersebut belum tuntas diimplementasikan sehingga harus diperpanjang. “Waktu 2,5 tahun merupakan periode yang singkat untuk menjalankan Inpres Moratorium Sawit,” katanya.
Dia menekankan bahwa tata kelola perkebunan sawit, khususnya di Kalimantan Barat, masih membutuhkan perbaikan agar target mewujudkan kesejahteraan masyarakat berbasis perlindungan lingkungan bisa terealisasi.
“Dalam konteks penghentian pemberian izin baru, Inpres Moratorium Sawit sudah efektif diimplementasikan. Namun untuk evaluasi dan peningkatan produktivitas, belum sepenuhnya terlaksana. Ini bisa terlihat dari data pemerintah yang belum lengkap mengenai tata kelola perkebunan kelapa sawit,” katanya.
Menurutnya, LSM di Kalimantan Barat telah melakukan sejumlah program untuk mendukung implementasi Inpres Moratorium. Link-AR Borneo, misalnya, sepanjang 2018-2019 melakukan pemantauan dan investigasi terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan di Kabupaten Sekadau. “Hasilnya, dua izin perusahaan dicabut,” ungkapnya.
Dia juga mendesak pemerintah lebih terbuka ke publik terkait capaian pelaksanaan Inpres Moratorium. “Banyak kabupaten sudah merapikan database jumlah izin perkebunan, tapi datanya agak sulit diakses. Itu masih jadi kendala. Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, tidak pernah memberikan informasi terbaru terkait pelaksanaan Inpres Moratorium kepada publik,” tandasnya.
Gifvents, Direktur Pelaksana Harian Yayasan KOMIU, juga menyoroti masih lemahnya data terkait moratorium. “Di Sulawesi Tengah, selama ini pemerintah daerah tidak memiliki data riil luasan perkebunan kelapa sawit,” sebutnya.
Akibatnya terjadi ketidaksinkronan data SPOP pajak dengan realisasi penguasaan lahan di wilayah tapak, minimnya kontribusi perkebunan kelapa sawit terhadap perekonomian daerah, serta terancamnya wilayah-wilayah suaka alam dan kawasan hutan lainnya dari perluasan perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah.
Yang lebih miris, meski sudah diberlakukan 2,5 tahun terakhir, menurutnya, belum semua instasi di tingkat provinsi maupun kabupaten di Sulawesi Tengah mengetahui dan mengimplementasikan Inpres Moratorium. “Salah satu faktor penyebabnya, tidak berjalannya koordinasi antara sektor yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit. Belum lagi di beberapa kabupaten terjadi perubahan kepala daerah sepanjang 2020 dan 2021,” kata Gifvents.
Melihat kenyataan banyaknya masalah yang belum selesai, Gifvents menilai desakan perpanjangan Inpres Moratorium Sawit tidak boleh ditawar lagi.
Komentar Via Facebook :