Berita / Feature /
Minyak Sawit Olahan Petani (2)
CPO yang sudah jadi kemudian disimpan dalam dua unit tanki timbun yang juga terbuat dari besi plat berkapasitas 9,5 ton. Masing-masing tanki timbun itu berukuran 1,8 meter x 4 meter x 0,8 meter.
Tak ada yang istimewa dari mesin pengupas kulit kelapa sawit itu. konstruksinya mirip dengan mesin pengupas kulit padi. “Memang idenya dari mesin padi itulah. Dalam benak saya waktu itu, padi saja bisa dikupas kulitnya, kok kelapa sawit enggak bisa?” kenang mantan Kepala Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Stabat Sumatera Utara (Sumut) ini.
Begitu juga dengan alat press yang memakai dongkrak tadi. Semuanya serba sederhana. “Memang belakangan kami sudah mengganti dongrak itu dengan hidroliknya eksavator. Hidrolik ini digerakkan oleh angin yang dikeluarkan dari kompresor kecil. Kayak kompresor mesin tambal ban,” ujarnya.
Sebelumnya tak pernah terpikir oleh Suparjan untuk mendirikan pabrik mini itu. Kalau saja usulan pembangunan PKS berkapasitas 30 ton perjam di kawasan Sungai Daun Kecamatan Limau Kapas Rohil disetujui oleh pemerintah, pabrik mini tadi tidak akan pernah ada. “Lima tahun lalu kami mulai merintis pengurusan izin pembangunan PKS. Modal untuk mendirikan PKS itu sekitar Rp85 miliar. Investor sudah ada. Tapi izinnya terkendala pada pelepasan kawasan. Kebetulan kawasan rencana pembangunan PKS itu berada di Hutan Produksi yang bisa dikonversi (HPK). Lebih setahun kami mengurus, uang banyak habis tapi hasilnya nihil,” kenang Ketua Dewan Pimpinan Unit (DPU) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) ini.
Karnaji, teman Suparjan yang mengurus izin PKS itu kemudian menimpali bahwa bukan tidak kuat alasan mereka untuk punya PKS. “Ada sekitar 45.155 hektar kebun kelapa sawit di kawasan ini, persis di tiga kecamatan yang ada; Limau Kapas, Kubu dan Kubu Babussalam. Luasan itu milik 75 kelompok tani dibawah naungan Koperasi Sawita Palma. Saban hari tak kurang dari 120 truk TBS keluar dari kawasan ini. Tiap truk bermuatan 9 ton. Hitung saja berapa ton sehari hasil dari sini. Pohon sawit di sini sudah berumur antara 8-18 tahun. Lantaran PKS enggak ada, petani harus rela merogoh kocek Rp500 perkilogram untuk ongkos langsir,” cerita sarjana ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) ini.
Kalau saja PKS itu jadi kata ayah tiga anak ini, biaya langsir yang musti dikeluarkan oleh petani akan turun menjadi Rp150 perkilogram. “Tapi apa mau dikata, belum rezeki kami barang kali,” ujar Karnaji lirih.
Mimpi punya PKS buyar, Suparjan tak patah arang. Sambil buang suntuk, dia jalan-jalan ke rumah Gunawan, teman lama di Pekaitan, masih di kecamatan Kubu. Gunawan rupanya sudah punya kilang CPO sendiri meski kilang itu menurut Suparjan sangat rentan beresiko. “Sistimnya juga rumit dan rendemen yang didapat hanya 18 persen. Namun dari situ kemudian saya dapat ide untuk membikin pabrik sendiri.
Di rumahnya, Suparjan kemudian mengoret-oret disain alat-alat pabrik CPO nya. Gambar itu kemudian dia berikan kepada Asianto, seorang teman SMA di Medan Sumut, yang mahir membikin mesin-mesin pertanian.
“Saya bawa sketsa itu ke Medan. Saya minta Asianto bikin. Dia bisa membikin tapi bahannya enggak ada. Sebab untuk membikin pengupas kulit sawit itu, butuh pipa dengan diameter sebesar piring. Lalu harus ada ulir dari baja. Alhasil saya pergi ke tempat barang-barang butut. Dapat jugalah yang saya cari. Asianto kerja, saya kembali ke Kubu Babussalam. Pesanan saya beres, saya ke Medan lagi sambil bawa 50 kilogram brondolan. Brondolan itu untuk ujicoba lah. Dan berhasil,” katanya.
Mesin itu kemudian diboyong Suparjan ke Kubu Babussalam. Para petani heran dengan apa yang dibawa lelaki ini. Namun setelah diujicoba selama dua bulan, para petani tertarik dan mau menuruti ide Suparjan supaya kelompok tani membangun pabrik mini.
“Kami bikinlah namanya Unit Pengelola Kegiatan Gabungan Binasawita (UPKGB). Kebetulan saya ditunjuk ketuanya. Dalam hitungan yang kami bikin, kami butuh dana sekitar Rp350 juta untuk membangun pabrik itu. Uang itu untuk membangun tempat, membeli mesin genset, hingga membikin alat-alat yang diperlukan.
Alhamdulillah uang terkumpul dari 40 orang petani yang mau menyumbang. Enggak dipatok masing-masing harus berapa. Uang terkumpul, kami pun mulai membangun pabrik. Dan sejak Agustus tahun lalu, pabrik resmi berjalan,” cerita Suparjan.
Bersambung...
Komentar Via Facebook :