Berita / Nusantara /
Minyak Sawit yang Segar Difitnah, Tapi Doyan Jelantah
Medan, Elaeis.co - Berbagai isu dimunculkan untuk memojokkan produk sawit dan turunannya dari Indonesia. Kampanye negatif sudah berlangsung bertahun-tahun hingga saat ini.
"Penugasan dari pemerintah ke saya terkait soal-soal perkebunan sawit dimulai tahun 2010. Waktu itu saya diutus ke Brussel, Belgia. Di situ saya harus menghadapi sekelompok kecil pihak yang memfitnah kalau industri sawit di Indonesia telah banyak memusnahkan orang utan," kata Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, dalam webinar yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Eropa untuk Indonesia Maju (PETJ), Sabtu (5/6) malam.
Waktu itu, Arif mengenang, ada salah satu putri dari Sultan Hamengkubuwono X dari Jogjakarta yang mampu membuktikan bahwa tudingan itu tidak benar."Memang ada orang utan yang mati, tapi hanya satu, dan itu pun bukan dilakukan oleh pelaku industri perkebunan sawit," kata Arif.
"Apakah case closed? Ternyata tidak. Kemudian muncul lagi kalau harimau Sumatera banyak yang mati karena sawit. Lalu dicari data, eh ternyata populasi harimau Sumatera justru bertambah dan dilindungi. Di lain hari di lain waktu, muncul lagi isu lain yang dikaitkan dengan sawit. Mereka terus-menerus memunculkan isu miring yang dikaitkan dengan sawit," tambahnya.
Pihak Eropa, katanya, tidak pernah mau melihat perkebunan sawit di Indonesia secara komprehensif. "Mereka enggak melihat bahwa kita saat ini telah melakukan moratorium sawit selama bertahun-tahun. Di zaman Presiden SBY juga pernah dilakukan moratorium. Mereka benar-benar tak mau melihat kalau kita telah melakukan banyak perbaikan di industri sawit nasional," kata Arif.
Wakil Ketua III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Togar Sitanggang, mengejek Eropa yang ternyata doyan minyak goreng bekas. "Eropa itu enggak mau yang segar-segar dari Indonesia. Mereka maunya yang bekas-bekas saja," katanya.
Ia menjelaskan, Eropa terus-menerus memfitnah sawit asal Indonesia dan berencana menghambat minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) agar tidak dijadikan bahan baku biodiesel bagi industri transportasi di Eropa.
"Namun di saat yang sama, Eropa justru banyak menyerap minyak jelantah kita untuk pembuatan biodiesel mereka. Lah, minyak jelantah itu dari mana? Dari sawit juga kan? Ha..ha..ha.. mereka tidak mau yang segar, maunya yang bekas," sindirnya.
Upaya pelarangan penggunaan CPO Indonesia dalam pembuatan biodiesel di Eropa direncanakan mulai tahun 2030 melalui Kebijakan Arahan Energi Terbarukan atau Renewable Energy Directive (RED II).
RED II memasukkan minyak kelapa sawit dalam kategori high-risk Indirect Land Use Change (ILUC) alias pengalihan penggunaan lahan yang memiliki resiko tinggi. Akibatnya, minyak kelapa sawit dinilai berkontribusi pada deforestasi maupun perubahan iklim.
Komentar Via Facebook :