Berita / Lingkungan /
Miris, Klaim Kawasan Hutan Bikin Petani Gagal PSR
Pekanbaru, Elaeis.co - Realisasi program peremajaan sawit rakyat (PSR) masih terus digaungkan berbagai asosiasi petani kelapa sawit. Dimana program ini adalah program pemerintah yang bertujuan menjaga produktifitas kelapa sawit di Indonesia.
Kendati demikian, realisasinya tahun 2021 ini justru masih rendah. Secara nasional hanya mencapai 15,2% dari 185 ribu hektar. Bahkan lebih rendah ketimbang tahun lalu.
Menurut Setiyono Ketua DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir) Indonesia, persoalan utamanya adalah penunjukkan kawasan hutan. Dimana menurutnya banyak lahan masyarakat yang sudah dilengkapi dengan sertifikat justru diklaim masuk kawasan hutan saat pengajuan PSR tersebut. Bahkan usia sertifikat yang sampai 30 tahun juga tidak berpengaruh.
"Banyak lahan transmigrasi dan plasma yang sudah bersertifikat 30 tahun lalu tiba-tiba ketika diajukan ikut Program PSR, malah diklaim masuk dalam kawasan hutan," ujarnya kepada Elaeis.co, Kamis (18/11).
Menurut Setiyono, persoalan ini adalah kendala serius yang terjadi di 22 provinsi untuk program PSR. "Ini kendala serius, dimana dana PSR malah dihambat oleh kawasan hutan yang notabene juga pemerintah,” katanya.
Dia tak menyangkal jika memang pemerintah tengah mencari solusi untuk percepatan PSR tadi. Misalnya seperti mengurangi jumlah persyaratan untuk mengajukan PSR tersebut. Namun meski berkurang dalam penerapannya, persyaratan yang harus dipenuhi petani hampir sama dengan 14 persyaratan sebelumnya.
"Malah sekarang muncul persyaratan dimana petani harus mendapatkan keterangan dari pihak BPN bahwa lahan milik mereka tidak tumpang tindih," paparnya.
Permasalahan ini tentu membuat minat petani tak bergairah dan justru memilih pasrah. Tapi, kondisi saat ini petani justru diuntungkan dengan tingginya harga kelapa sawit yang terjadi se-Nusantara.
"Buka minatnya yang berkurang, yang mundur juga lumayan banyak. Tapi kalau persentasenya kita belum hitung, karena memang butuh kumpulan data dari berbagai daerah," tandasnya.
Meski begitu, Setiyono merasa bersyukur dengan adanya pergub Tataniaga TBS di Riau. Peraturan ini membuat petani swadaya dan petani plasma sederajat.
Komentar Via Facebook :