https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Ombudsman Temukan Banyak Pedagang tak Patuhi HET Migor

Ombudsman Temukan Banyak Pedagang tak Patuhi HET Migor

Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Yeka Hendra Fatika. Foto: ORI


Jakarta, elaeis.co - Tingkat kepatuhan dunia usaha, terutama di pasar tradisional dan ritel tradisional, terkait penerapan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng (migor) di Indonesia sangat rendah.

Hal ini terungkap dari pemantauan secara intensif selama beberapa hari yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI) selaku lembaga negara pengawas pelayanan publik.

"Hanya 12,82 % pasar tradisional dan 10,19 % ritel tradisional yang memperdagangkan migor sesuai HET. Data ini diperoleh berdasarkan pemantauan dari 311 sampel lokasi yang tersebar di 34 provinsi," kata anggota ORI, Yeka Hendra Fatika, dalam keterangan resmi yang diterima elaeis.co, Rabu (23/2/2022).

Menurutnya, persentase pelanggaran itu terpaut jauh dengan tingkat kepatuhan di pasar modern yang mencapai 69,85% dan ritel modern sebesar 57,14%.

Ia mencontohkan, berdasarkan hasil pemantauan, harga migor kemasan premium di pasar tradisional diperjualbelikan dengan kisaran Rp 14.500 - Rp 18.000/liter. 

Harga tertinggi migor kemasan premium di pasar tradisional ditemukan di sejumlah provinsi yakni Sumatera Barat, Jambi, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat.

"Namun demikan, terdapat kasus di beberapa titik sampel yang menjual harga migor kemasan premium sesuai HET di pasar tradisional, yaitu di Pasar Teluk Kering Kota Batam, Pasar Karang Anom Klaten Jawa Tengah, Pasar Mukti Harjo Kidul Kota Semarang, dan di Pasar Hamadi Jayapura," papar Yeka. 

Hasil pemantauan ORI di pasar modern sebagian besar harga migor sudah mengikuti HET yang ditetapkan pemerintah. Dalam pemantauan serentak ini, pihaknya menemukan adanya praktik bundling.

"Ini praktek pembelian migor dengan disertai pembelian produk lain dari toko tersebut. Hal ini terjadi di Provinsi DIY dan Maluku Utara," ujar Yeka.

Selain itu, Ombudsman juga menemukan adanya pembatasan pasokan di sejumlah wilayah sehingga berdampak pada terbatasnya ketersediaan pasokan ritel, sebagaimana yang terjadi di Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jambi, dan Kalimantan Tengah.

Pihaknya pun menemukan adanya praktik penyusupan kuota migor dari agen distributor langsung menjual kepada pedagang ritel tradisional dan pasar tradisional dengan harga di atas HET. 

"Hal ini terjadi pada sampel pemantauan di Provinsi Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara," katanya.

Melihat kondisi masih belum meratanya minyak goreng sesuai HET, Yeka menyampaikan imbauan agar Kementerian Perdagangan dan Satgas Pangan bekerja lebih cepat lagi. "Supaya minyak goreng dengan harga terjangkau ini segera sampai ke seluruh masyarakat," ujarnya.

Kata dia, dalam rangka mengumpulkan informasi terkait persoalan minyak goreng ini, ORI mengundang sejumlah pemangku kepentingan untuk berdiskusi. 

"Rencananya mulai Jumat besok, 25 Februari, kami akan mengundang Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk merespons apa saja dampak kebijakan HET minyak goreng ini terhadap para pengusaha kelapa sawit," sebutnya. 


 

Komentar Via Facebook :