https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Pakar IPB: Belanda Bilang Indonesisch bezitsrecht

Pakar IPB: Belanda Bilang Indonesisch bezitsrecht

Guru Besar IPB, Prof Budi Mulyanto saat menjadi narasumber tunggal di acara diskusi online #LetsTalkAboutPalmOil. Foto: dok. elaeis


Jakarta, elaeis.co - Negeri ini tidak hanya heboh oleh pandemic Covid-19, tapi juga oleh pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait lahan dan kebun rakyat. 

Sebab di RPP yang konon pasal-pasal di dalamnya terus gonta-ganti itu, nasib rakyat yang tanahnya berada pada klaim kawasan hutan, bakal berakhir miris. Dibilang miris lantaran otoritas kehutanan ngotot dengan aturan main yang dibikin sendiri. 

Misalnya lahan yang sudah dikuasai rakyat setelah hamparan itu ditunjuk sebagai kawasan hutan, musti melewati dan mematuhi sederet proses dan syarat. Tak perduli walau tanah yang sudah dikuasai oleh rakyat itu sudah dilengkapi surat yang dikeluarkan oleh pemerintah. 

Begitu juga dengan Hak Guna Usaha (HGU) yang jelas-jelas adalah hasil produk pemerintah, kalau HGU itu dalam klaim kawasan hutan, tetap juga harus melewati sederet proses dan syarat, baru diakui. 

Cerita-cerita semacam inilah yang mencuat pada diskusi online #LetsTalkAboutPalmOil yang dipandu oleh Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Togar Sitanggang, kemarin sore.

Adalah Profesor Budi Mulyanto yang didapuk sebagai narasumber tunggal dalam diskusi itu. Kepada mereka yang hadir, lelaki 64 tahun ini nampak bersemangat mengurai sengkarutnya kawasan hutan itu.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini bilang bahwa hak-hak atas tanah yang sudah dilengkapi legalitas produk pemerintah, jangan dimasukkan ke dalam kawasan hutan. 

"Kepala Desa juga pemerintah, kalau dia sudah mengeluarkan legalitas hak, mestinya dihargai. Dimana-mana saya selalu bilang begitu," katanya. 

Anggota Tim Serap Aspirasi RPP terkait Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) ini menyebut, hak atas tanah adalah final, sebab hak itu sudah mengikuti perundangan dan melibatkan instansi terkait. 

Lebih jauh Budi menyebut, di jaman belanda, ha katas tanah sudah diakui. Hak-hak pribumi disebut Indonesisch bezitsrecht. Ini bermakna bahwa hak atas tanah masyarakat pada jaman penjajahan diakui. Lantaran itu hak azasi manusia, sudah selayaknya hak itu diakui dan dihargai. 

“Masak setelah merdeka, menjadi bangsa dan negara yang diperintah oleh bangsa sendiri, hak itu malah enggak diakui. Ingat, yang memperjuangkan dan membangun NKRI ini adalah rakyat Indonesia, jangan mereka enggak dihargai," ujar Budi tegas.

Terus ada juga Hak Erfpacht.  Setelah Indonesia punya Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hak ini dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU). “Hak ulayat masyarakat hukum adat (Beschikkingsrecht), meski tidak didaftarkan, tetap diakui dan dihormati,” katanya.

Nah, sekarang setelah menjadi NKRI dan dipimpin oleh bangsa sendiri, semestinya legalitas usaha yang sudah ada yang diterbitkan oleh unsur-unsur pemerintah harus saling diakui dan dihargai oleh lintas kelembagaan, jangan malah petani, pemilik usaha, yang sesungguhnya rakyat Indonesia, dijadi objek kesalahan. 

“Mestinya dengan adanya UUCK berikut PP-nya, Hak Atas Tanah (Right) segera diperjelas legalitasnya, peraturan-peraturan (Ristriction) yang harus diikuti terkait penggunaan hak itu, juga diperjelas, termasuklah kejelasan tanggungjawab (Responsibility) pemegang hak ," katanya.  

Kalau 3R tadi sudah jelas, pemerintah akan  bisa membuka dan menumbuh kembangkan lapangan kerja, dengan begitu jumlah pengangguran akan bisa ditekan. 

Masyarakat pun akan bisa bekerja dengan nyaman. Kalau petani misalnya sudah bekerja nyaman, otomatis produktivitas lahannya akan meningkat. Aktivitas usaha juga akan berjalan nyaman.

Kalau sudah begini,  ekonomi akan terus berputar, investasi meningkat, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) berkembang. Industri berjalan dan ekspor terjaga. Dampaknya, neraca perdagangan RI akan tetap positif, kampanye negatif terhadap produk ekspor Indonesia pun mereda. 

Efek dari itu semua, penerimaan pajak meningkat, stabilitas sosial-keamanan terkendali. “Semuanya akan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, masyarakat makmur dan sejahtera pun akan terwujud. Jangan gara-gara tak singkronnya komunikasi antara pusat dan daerah terkait tata ruang, malah rakyat dan pelaku usaha yang dikorbankan," katanya.  

"Tujuan UUCK itu sangat mulia, tapi lantaran kita sudah terlalu lama terbelenggu oleh peraturan mutual exclusive, menjadi enggak gampang untuk memahami tujuan UUCK itu," tambahnya. 

Kalaulah penataan kawasan hutan dijalankan sesuai pasal 14 dan 15 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bersama Putusan MK 35 tahun 2012 dan Putusan MK 45 tahun 2011 kata Budi, sengkarut kawasan hutan enggak bakal pernah terjadi. 

Sebab di  sederet pasal dan putusan itu sudah diatur dengan jelas bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui empat tahapan. Tahapan penataan batas menjadi tahapan yang paling penting dan harus dilakukan  bersama-sama masyarakat.

Dalam menentukan batas, batas-batas itu harus disetujui oleh pihak-pihak yang berbatasan. Azas contradictiore delimitatie diterapkan. "Kalau pemerintah mau membatas kawasan hutan, rakyat sekitar  dan rakyat yang ada di dalam kawasan hutan musti dilibatkan, biar didapat garis batas yang sama-sama diakui kedua pihak. Kalau pengakuan kedua pihak sudah ada, legitimasinya tinggi”  kata Budi. 


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :