Berita / Nusantara /
Pakar: Masalah Ini Beres, PSR Lancar
Jakarta, elaeis.co - Banyak orang tahu kalau saat ini total luas lahan kebun kelapa sawit rakyat yang musti menjalani peremajaan mencapai 2,7 juta hektar.
Hanya saja, walau total luas lahan itu sudah ada, tapi giliran dikasi target untuk mereplanting 180 ribu hektar setahun, semua mengaku sangat berat.
Bagi Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, target dengan luasan segitu sebenarnya enggak susah.
Soalnya kalau ditengok dari sejarah perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dalam setahun saja bisa membuka lahan seluas 1 juta hektar.
"Logikanya, replanting mestinya lebih mudah dari pada membuka lahan baru. Sekarang pertanyaan yang muncul, kenapa replanting susah?" lelaki 56 tahun ini melontarkan pertanyaan saat berbincang dengan elaeis.co, kemarin.
Persoalan pokoknya kata doktor ilmu ekonomi pertanian ini sebenarnya bukan lantaran yang dikasi target tidak mampu, tapi justru ada di legalitas lahan.
"Saya sudah survey, persoalannya ada di situ. PSR sulit berkelanjutan lantaran pemerintah tidak melakukan tugasnya. Sebab yang membikin legalitas lahan itu lengkap bukan petani, tapi pemerintah," ujarnya.
Mestinya kata Tungkot, pemerintah lebih dulu memberesi legalitas lahan petani itu. Sebab kuncinya ada di tangan pemerintah, bukan di tangan asosiasi atau petani.
Lantaran legalitas tadi tak selesai, petani jadi korban, mereka tak bisa menikmati PSR lantaran terganjal legalitas. Bupati tak mau mengeluarkan Surat Tanda Daftar Budidaya juga lantaran legalitas yang tak jelas.
"Kalau pemerintah menyelesaikan itu, semua pasti beres. Undang-Undang mengatakan itu kewajiban dan tanggungjawab pemerintah. Pemerintah yang bisa menyelesaikan itu," Tungkot mempertegas.
Adapun prosedur legalitas itu kata Tungkot, yang bertanggujawab adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) provinsi lantaran luas lahan PSR itu di bawah 25 hektar.
"Dari instansi inilah kejelasan status itu. Itulah makanya sejak pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), semua kebun sawit rakyat dikeluarkan dari kawasan hutan. Habis itu Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengukur. Beres itu STDB keluar," Tungkot mengurai.
Tapi yang terjadi, plasma tahun '80an saja belum lepas dari kawasan. "Janganlah karena rakyat tak mampu membayar aparat, petani jadi dipersulit. Sementara korporasi dipermudah lantaran duitnya banyak. Rakyat ini kontirbusinya besar lho, bantulah," pintanya.
Pentingnya legalitas ini kata Tungkot tidak terlepas dari aturan bahwa dana pungutan yang ada sudah menjadi duit negara.
Jika legalitas tidak ada, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) enggak akan bisa menyalurkan duit.
"Kalau duit mau dikucurkan, legalitas lahan musti jelas dulu. Itulah makanya BPDPKS dan Kementan sangat hati-hati. Tapi jika legalitas beres, rekom Dirjenbun akan cepat, duit juga akan cepat dikucurkan BPDPKS. Jadi, stagnannya PSR ini, gara-gara legalitas itulah," katanya.
Di daerah, Tungkot mengaku sudah ketemu dengan bupati setempat. Si bupati pun menyebut kalau solusi untuk persoalan legalitas tadi sebenarnya gampang saja.
"Kabupaten enggak punya duit untuk mensurvey dan mengukur lahan petani. Kalau duit ada dari Kementerian Keuangan, urusan lahan akan beres," Tungkot menirukan omongan bupati itu.
Lagi-lagi si bupati kata Tungkot menyebut, bisa saja Kemenkeu membikin rekening khusus dana PSR untuk memberesi legalitas lahan sampai STDB petani keluar.
Mestinya kata Tungkot, ini yang dilakukan. Perkuat pemerintah daerah biar bisa membantu legalitas petani.
Hanya saja, sejauh ini Tungkot belum melihat niat pemerintah, yang ada hanya kumpul-kumpul menghabiskan duit sawit.
"Padahal persoalan petani simpel saja. Apa kita enggak malu, bertahun-tahun ini enggak selesai. Banyak memang yang sudah dilakukan, tapi kebanyakan hanya seremonial cari panggung yang enggak menyelesaikan persoalan," tegasnya.
Komentar Via Facebook :