Berita / Feature /
Banyak Program Gagal
Pakar: OMP Sudah Diboikot
Jakarta, elaeis.co - Lelaki 55 tahun ini hanya bisa menarik napas panjang saat elaeis.co mengajaknya berbincang soal nasib rakyat pasca disahkannya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja November tahun lalu.
Sederet Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi turunan UU Sapu Jagat itu disahkan pula pada Februari lalu.
Bahwa rakyat harus melakukan gugatan kata ayah empat anak ini, menjadi solusi untuk bisa keluar dari persoalan klasik yang ada; klaim kawasan hutan.
"Saya belum membuka seutuhnya di mana saja poin-poin yang menghambat sawit dan bahkan menghambat rakyat Indonesia untuk mendapatkan haknya," kata lelaki kelahiran Klaten Jawa Tengah ini, kemarin.
Tak teras obrolan pun semakin panjang dan dalam terkait kisruh klaim kawasan hutan yang mulai meredup itu.
Dibilang meredup lantaran organisasi-organisasi petani dan bahkan perusahaan, khususnya yang bergerak di sektor kelapa sawit, tidak mau 'berbenturan' dengan pemerintah.
"Padahal benturan itu sebenarnya positif saja, bahwa kepentingan rakyat di atas segalanya, menjadi poin penting dalam upaya yang dilakukan," terangnya.
Tapi lagi-lagi itu tadi, rakyat kata doktor ilmu hukum Universitas Khatolik Parahyangan Bandung Jawa Barat (Jabar) ini tidak punya cukup pemahaman untuk berurusan dengan hukum.
Di sisi lain, organisasi-organisasi yang dibilang Magister Hukum Universitas Indonesia ini, justru hanya bersikap 'menunggu' dan berharap pemerintah mengerti dengan kendala pelaku sawit dan berharap pula kendala itu mendapat penyelesaian. "Kalau kayak begini caranya, gimana urusan mau beres," sindirnya.
Sebab menurut Sadino, urusan memang enggak akan beres lantaran Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy (OMP) sesungguhnya sudah diboikot oleh pemangku kehutanan.
"Oleh boikot ini tadilah makanya banyak program yang berantakan. Misalnya Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Program ini saya bilang gagal. Ini lantaran apa, lahannya enggak jelas," katanya.
Memang, potensi lahan untuk PSR kata Sadino disebut-sebut ada sekitar 2,7 juta hektar. "Lah, potensi ini menurut siapa dan siapa yang bikin? Kita ini sering bikin data hiperbola lho," ujarnya.
Kalaupun ada potensi PSR 2,7 juta hektar kata Sadino, itu justru hanya data analisis tutupan sawit, sama seperti otoritas kehutanan menunjuk kawasan hutan.
"Ini modelnya sama dengan program Perhutanan Sosial, Hutan Rakyat dan yang lainnya, enggak jelas di mana lokasinya," katanya.
"Ada Tanah Objek Reforma Agraria 4,2 juta hektar, Perhutanan Sosial 12,2 juta hektar dan hutan rakyat 5 juta hektar. Semua ini baku timpa, menimpa sawit, kampung dan tumpang tindih dengan izin. Penyebabnya apa, ya itu tadi, OMP sudah diboikot," tegasnya.
Jadi, untuk menyelesaikan semua inilah kata Sadino, satu-satunya jalan adalah jalur hukum. Apalagi persoalan sawit dalam klaim kawasan hutan sebenarnya hanya salah satu dari persoalan pada klaim kawasan hutan tadi.
"Yang paling menderita itu justru rakyat yang kampungnya, kotanya, diklaim dalam kawasan hutan. Kalau ditunggu penyelesaian dari otoritas kehutanan, kita sudah lihat sendiri, mereka tetap ngotot mengklaim; itu semua kawasan hutan. Kalaupun rakyat diberi 'angin', tetap saja angin yang menjerat," katanya.
Angin sengar yang ditabur oleh otoritas kehutanan dalam webinar atau forum diskusi kata Sadino, itu enggak akan ada gunanya sepanjang aturan-aturan yang ada di UUCK maupun PP terkait kehutanan, tidak dirubah.
Kalau menunggu diskresi otoritas kehutanan, kata Sadino sangat tidak mungkin. Sebab boro-boro melanggar PP, melanggar Peraturan Presiden (Perpres) saja otoritas kehutanan enggak berani.
"Contoh Perpres 88 2017 tentang penyelesaian persoalan tanah di kawasan hutan. Di situ sudah jelas dibilang tidak boleh untuk sawit. Beranikah tim Perpres melanggar itu? Enggak berani," ujarnya.
Lagi-lagi kata Sadino, kalau persoalan klaim kawasan hutan ini mau beres, satu-satunya jalan adalah jalur hukum. Semua elemen musti menyatu.
"Basic hukumnya Putusan MK 45 tahun 2011, Putusan MK 34 tahun 2011 dan pasal 14-15 UU 41 tahun 1999 dan UUCK. Kalau rakyat menanyakan kawasan hutan yang mana? Kan ini sudah perdebatan. Maka kita tengok, apakah kawasan hutan itu sudah dikukuhkan? Pengukuhannya seperti apa, dikukuhkan sendiri atau benar-benar melalui prosedur. Di proses hukum inilah nanti semuanya akan terbongkar. Pembuktian unsur penetapan kawasan hutan akan lebih jelas terlihat dari proses di lapangan, seperti adanya bukti penataan batas kawasan hutan dan bukti lainya. Instrumen hukum sudah tersedia bagi yang merasa dirugikan atas klaim kawasan hutan itu," ujarnya.
Yang pasti kata Sadino, upaya hukum yang dilakukan masyarakat akan menggagalkan harapan otoritas kehutanan untuk mendapatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam waktu 3 tahun. "Itupun kalau rakyat mau," katanya.
Komentar Via Facebook :