Berita / Sumatera /
Pamor Sawit Makin Redup di Lampung, ini Sebabnya
Lampung, Elaeis.co - Di saat mayoritas provinsi di Pulau Sumatera fokus dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit, Lampung justru seperti tak ingin ada di jalur yang sama. Di provinsi ini pamor sawit justru meredup, kalah bersaing dengan komoditas pertanian lainnya.
"Bagaimana perkebunan sawit mau berkembang di Lampung? Kalah sawit dibanding tanaman lain. Di Lampung, setahu saya, dari tahun 1990-an, hanya ada tiga perusahaan sawit. Yang pertama PTPN VII yang merupakan perusahaan BUMN, dua lainnya milik swasta," kata Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Lampung, Abdul Simanjuntak, kepada Elaeis.co, Kamis (16/9/2021).
Komoditas pertanian lain, katanya, sangat banyak offtaker atau perusahaan pembelinya. Ia sendiri selain memiliki kebun sawit, juga punya kebun tebu. Abdul bahkan menjadi ketua KUD setempat yang mengelola 1.000 hektar kebun tebu dan menjadi petani plasma PTPN VII yang juga memiliki kebun tebu.
"Sekedar tahu saja, perkebunan singkong digarap 19 pabrik di Lampung ini. Petani punya lahan, penanaman singkong dibantu perusahaan dan hasilnya juga dibeli perusahaan. Ada kepastian produksi dan penjualan hasil panen," ungkapnya.
Itu sebabnya petani setempat menganggap singkong, tebu, kopi, dan sejumlah komoditas lainnya, saat ini jauh lebih menjanjikan ketimbang sawit.
Menurut Abdul, meredupnya pamor sawit tak lepas dari pengalaman susahnya mendapatkan bibit berkualitas di era 1990-an. Saat itu, petani sawit swadaya dan plasma, termasuk warga transmigran, sangat kesulitan mendapatkan bibit dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS).
"Saat itu PPKS jadi satu-satunya sumber benih perkebunan berkualitas. Dan kami ada di daftar tunggu yang panjang, di atas nomor 300," kisahnya.
"Lalu datanglah orang-orang dari Medan yang menjual bibit sawit. Bibit Mariles istilahnya. Ternyata itu bibit Dura, bukan Tenera. Sampai tahun 2000-an pun masih banyak yang nanam Dura. Hasilnya? Kualitas buah dan rendemennga jelek," bebernya.
Saat harga sawit anjlok di tahun 2018-2019, para petani di Lampung, terutama di kawasan sepanjang Bakaheuni menuju perbatasan Sumatera Selatan, menebang habis tanaman sawit karena mereka kecewa. Sementara bagi yang bertahan dengan Dura, enggan menggantinya dengan Tenera yang berkualitas.
"Karena kebun sawit mereka yang Dura ini masih di bawah usia tanam 25 tahun, sayang rasanya kalau ditebang. Dan yang Dura ini masih banyak di Lampung, prediksi saya 70 sampai 80 persen petani masih mempertahankan Dura," sebutnya.
"Tahun 2010 masih ada yang tanam bibit sawit Dura. Saya sempat mengancam para petani yang menanam Dura agar tidak menjual atau menyebarkan bibit itu ke petani lainnya. Akhirnya sejak 2010 tak ada lagi yang menanam Dura," tambahnya.
Faktor lain yang membuat redup sawit adalah ketidakmampuan Dinas Pertanian dan Perkebunan Lampung untuk mengikuti perkembangan harga CPO dan TBS secara nasional dan global.
Saat di provinsi lain harga TBS ditetapkan sekitar Rp2.800 per kilogram, di Lampung justru masih di bawah Rp2.500 per kilogram.
Ia mengaku pernah mengkritik hal ini langsung ke pihak dinas terkait, namun minim tanggapan.
"Makanya muncul kecurigaan petani sawit kalau harga yang ditetapkan dinas terkait di bawah pengaruh pihak perusahaan sawit yang tak mau harga TBS jadi tinggi seperti di provinsi lain," tandasnya.
Komentar Via Facebook :