https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Dari 2015-2020 Habis Rp57,72 Triliun

Panja Sawit Komisi IV DPR Pertanyakan Aliran Duit Insentif Biodiesel

Panja Sawit Komisi IV DPR Pertanyakan Aliran Duit Insentif Biodiesel

Anggota Panja Sawit Komisi IV DPR, Luluk Nur Hamidah. Foto: shot


Jakarta, elaeis.co - Program pemberian insentif terhadap Biodiesel yang sudah berjalan lima tahun terakhir, benar-benar jadi sorotan utama anggota Panitia Kerja (Panja) Sawit Komisi IV DPR kemarin sore. 

Ini terjadi lantaran duit yang mengucur untuk insentif ini dianggap sangat gendut, mencapai Rp57,72 triliun selama periode 2015-2020. 

Sementara selama 2017 sampai awal 2021, duit yang mengucur untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), hanya sekitar Rp5,3 triliun.  

"Sangat ironis kebun kelapa sawit rakyat yang menyerap tenaga kerja begitu besar, hanya kebagian porsi kecil," kata Wakil Ketua Gerindra, Budi Satrio Djiwandono. 

Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono dan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman hadir dalam rapat itu. 

Rapat yang berlangsung lebih dari dua setengah jam ini disiarkan langsung juga oleh kanal youtube Komisi IV DPR. 

"Duit yang Rp57,72 triliun ini ke siapa, ke Pertamina kah atau ke swasta? Kalau ke swasta, swasta mana, sistim pengolahannya kayak mana? Hibah, pinjaman atau apa? Jadi perusahaannya apa ini sampai bisa dapat duit sebanyak itu?" kader Demokrat asal Sulawesi Barat, Suhardi Duka, menimpali pula.    

"Saya juga dapat info bahwa potongan ekspor itu, katakanlah perusahaan A setor Rp3 triliun, tapi perusahaan itu justru terima Rp5 triliun dari insentif tadi," Suhardi menuding. 

"Ini perlu kejelasan, keterusterangan, biar kita bisa memberikan rekomendasi yang tepat," tambahnya. 

Luluk Nur Hamidah, kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) asal Jawa Tengah (Jateng) ini meminta BPDPKS untuk menunjukan dokumen penunjukan perusahaan penerima insentif biodiesel itu. 

"Berdasarkan apa, rapatnya gimana, lisan apa resmi, siapa yang menghadiri, dengan cara apa insentif dibagikan, kriterianya seperti apa, apakah perusahaan yang mengajukan proposal atau inisiatif nya dari BPDPKS, kita pengen tahu. Lalu kenapa BUMN enggak dilibatkan, padahal BUMN punya kemampuan untuk membikin biodiesel," sederet pertanyaan dilontarkan Luluk. 

Lantaran cecaran soal biodiesel semakin kencang, HTA Khalid, kader Gerindra asal Aceh pun mengusilkan supaya anggota Panja Sawit masuk lebih dalam ke persoalan biodiesel ini. 

"Kita musti gali lebih dalam ini, materialnya seperti apa, tak hanya biodiesel, tapi juga PSR," pintanya.

Setelah mendengar semua omongan para anggota Panja tadi soal biodiesel itu, Eddy sempat menjelaskan cikal bakal hadirnya biodiesel itu seperti ini; Pada 2012-2015, terjadi fenomena harga CPO yang menurun tajam. 

Sementara waktu itu, produksi sawit lagi meningkat tajam, terjadilah permintaan yang tidak pas. Waktu itu, CPO masih hanya untuk ekspor. Sementara di dalam negeri, CPo hanya untuk makanan dan oleokemikal. 

Oleh banyaknya stok CPO di dalam negeri, importir pun mulai memainkan, harga ditentukan buyers.

Menengok kenyataan itu, 2015 pemerintah mengambil inisiasi untuk menciptakan permintaan di dalam negeri, biar CPO terserap dan harga terangkat. 

Lantaran sawit bisa jadi bahan bakar nabati, dibuatlah program biodiesel. Program ini ditawarkan kepada para pelaku usaha. 

Awalnya hanya beberapa perusahaan yang mau, tapi kemudian berkembang sesuai kebutuhan dari tahapan biodiesel tadi. 

Waktu itu, siapapun ditawarkan, termasuk BUMN. Meski saya baru di BPDPKS, tapi saya mengikuti lantaran waktu itu saya di Kemenko Perekonomian. 

Di 2015 dibentuklah BPDPKS, dihimpunlah dana dari industri sawit supaya sawit sustainable dan harga stabil. Pasar baru diciptakan. 

Ternyata biodiesel bisa menyerap, tapi muncul persoalan. Ada Gap antara biodesel dan solar. 

Pertamina diwajibkan mencampur solar dengan biodiesel. Sekarang B30. Berarti, porsinya itu, 70% fosil, 30% biodiesel.

Pengusaha biodiesel diwajibkan menjual ke Pertamina. Harganya ditetapkan oleh pemerintah. Formulanya ada. Harga CPO+harga produksi (saat ini USD85 per metrik ton). 

Lantas, Pertamina juga diwajibkan menjual B30 sesuai harga yang ditetapkan pemerintah. 

Sayang, Eddy tak tuntas menjelaskan lantaran sejumlah anggota Panja meminta supaya Eddy membikin jawaban tertulis saja. 

Meski begitu, Luluk sempat berujar begini; Ada politik di sini, luar biasa. Ada insentif ke korporasi, ada kewajiban Pertamina mencampur solar dengan biodiesel dan biodiesel itu harus beli ke korporasi dengan harga yang ditentukan pemerintah.

Terus, pemerintah harus menjual dengan murah, ini gila sebenarnya. Coba, yang diuntungkan siapa dan yang dirugikan oleh siapa. 

Saya agak syok dengan kenyataan ini. Akhirnya terkonfirmasi lah apa yang saya dengar beberapa tahun lalu. Ada resistensi di sini.
 


 

Komentar Via Facebook :