https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Para Penikmat Rente di Perkebunan Sawit

Para Penikmat Rente di Perkebunan Sawit

Mantan Dirjenbun Kementan, Prof. Agus Pakpahan. foto: tangkapan layar


Jakarta, elaeis.co - Tahun lalu, Kementerian Pertanian merilis data bahwa luas kebun kelapa sawit Indonesia mencapai 16,38 juta hektar. Sekitar 58 persen dari luasan itu milik perusahaan swasta dan negara, sisanya sawit rakyat. 

Industri kelapa sawit ini kemudian mampu menyetor devisa sekitar USD20 miliar kepada negara. Para pelaku industri bangga lantaran angka sebesar itu telah bertengger di deretan wahid 10 sektor komoditi besar. 

Hanya saja kalau dibandingkan dengan industri sawit Malaysia, gelontoran duit sebanyak itu ternyata tergolong kecil. Sebab modal 5 juta hektar kebun sawit, 'Negeri Jiran' itu bisa menyetor devisa USD15 miliar. 
 
Jadi kalau dipukul rata berdasarkan luasan kebun kelapa sawit yang ada, perhektar kebun sawit Indonesia memberikan devisa USD1221, Malaysia sudah USD3000. 

Tak pelak, angka ini memunculkan gap (kesenjangan) yang sangat jauh. Luas kebun sawit Indonesia lebih dari tiga kali lipat Malaysia, tapi devisa perhektar sawit Indonesia tidak sampai setengah dari devisa perhektar sawit Malaysia. 

Walau devisa sawitnya sebanyak itu, belum mampu bertengger di posisi paling atas penyetor devisa, tapi masih di urutan keempat. Alat dan mesin malah jadi penghasil devisa nomor wahid. Ini berarti, Malaysia sudah masuk dalam industrialisasi yang semakin bergerak ke hilir, makanya menghasilkan produk industri. 

"Kok bisa begitu?" mantan Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) Kementerian Pertanian, Prof. Agus Pakpahan bertanya, saat berbincang dengan elaeis.co tadi malam. 

Corporate Culture perusahaan kelapa sawit di Indonesia tidak compatible, tidak sesuai dengan kebutuhan inovasi. Tak hanya PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tapi juga swasta. 

Indikatornya apa? nilai output per hektar kebun sawit Indonesia dibanding Malaysia, jauh lebih rendah. Ini berarti, konten teknologi, konten inovasi perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih sangat rendah. 

"Dalam ekonomi, ada yang disebut dengan Product Complexity Index dan Economic Complexity Index. Kalau ditengok dari sisi ini, sawit kita itu indeksnya negatif," lelaki 65 tahun ini mulai mengurai.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa corporate culture tadi tidak kondusif untuk inovasi? "Kalau ditengok dari sudut pandang sosiologis, antropologis dan politis, Corporate Culture tadi tidak mementingkan inovasi, tidak mementingkan modernisasi, tidak mementingkan pihak lain dan bahkan tidak mementingkan kemajuan. Inilah yang disebut dengan kultur feodalisme. Sudahlah feodal, kawin pula dengan kolonialisme. Yang begini inilah model ekonomi sawit Indonesia sampai hari ini, yang menguasai 10 juta hektar perkebunan perusahaan sawit," ujar ayah empat anak ini. 

"Kalau petani, mereka ngikut saja. Sebab kalau perusahaan tidak membikin pabrik, petani enggak akan mungkin bikin kebun sawit. Kecuali kalau akan menerapkan teknologi tepat guna kelas petani seperti yang berkembang di Nigeria," mantan Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan ini menambahkan. 

Adapun simbol feodalisme corporate culture tadi menurut Agus adalah menguasai tanah untuk mendapatkan kekayaan. Beda dengan kaum industrialis yang mencari kekayaan dengan melakukan Riset and Development (R&D), inovasi, dan mengembangkan industri.

"Saya menjelaskan ini dari kacamata ilmu pengetahuan, lho. Apa buktinya cari kaya dari tanah? Tanah HGU diposisikan sebagai kapital (aset), bukan tanaman sawitnya," Agus memilah. 

Menurut Agus, kaum feodal itu pecinta rente. Mereka mendapatkan pendapatan bukan dari hasil kerja. Dia mendapatkan sesuatu dari kekuasaan berupa kepemilikan. Maka dalam perkebunan sawit, yang dikejar adalah tanahnya. Lahan HGU menjadi sumber untuk menarik kekayaan. 

"Saya ingin mendapatkan hak atas tanah dalam bentuk HGU supaya saya bisa dapat duit dari bank dengan modal tanah itu. Itulah objektif fungtion yang pertama dari model perkebunan sawit di Indonesia," Agus semakin mengurai. 

Setelah dapat duit, cari lagi tempat lain yang bisa diambil rentenya. Misalnya mendirikan bank, bikin real estate, atau membuka kegiatan semacam itu, bukan membangun kreatifitas atau inovasi. 

"Alhasil, dari jaman Belanda sampai sekarang, industri perkebunan kelapa sawit kita begitu-begitu saja, tidak banyak berkembang walaupun perkebunan kelapa sawit itu sudah dimulai secara besar-besaran sejak 1980. Artinya sudah berkembang lebih dari 40 tahun. Ini diukur oleh produk-produk yang kita hasilkan. Penyebabnya itu tadi, tidak ada kegairahan berinovasi," katanya. 

Kalau ditengok dari kacamata akuntansi kata Agus, apa ukuran corporate culture yang mendahulukan inovasi, yang mementingkan inovasi? Jawabannya adalah; R&D dijadikan sebagai investasi, jadi Capital Expenditure (CapEx). 

"Sekarang saya tanya, berapa investasi R&D PTPN? Masuk pos mana? Pasti bukan CapEx, tapi hanya pada Operational Expenses (OpEx). Ini makna falsafahnya adalah, R&D diperlakukan sama dengan membeli nasi padang," sambil tertawa Agus berumpama. 

Lantaran kondisinya begitu, dunia inovasi yang akan melahirkan proses industrialisasi kata Agus, tidak akan pernah lahir di BUMN perkebunan atau di perkebunan kelapa sawit secara keseluruhan. 

"Sebab struktur yang dibangun bukan dibangun untuk inovasi, tapi dibangun hanya untuk memanfaatkan Hak Guna Usaha (HGU) demi mendapatkan agunan dan seterusnya, sampai HGU-nya habis. Tidak ada kegairahan untuk berkreasi atau berinovasi secara sungguh-sungguh untuk mengejar segala bentuk ketertinggalan. Lama kelamaan, sistem secara keseluruhan menjadi malas," suara Agus terdengar datar. 



 

Komentar Via Facebook :