Berita / Nusantara /
Para Petani Tangguh Dari Sungai Lilin
Muba, elaeis.co - Bambang Gianto menarik napas panjang saat menengok hamparan hijau pohon kelapa sawit di kawasan Desa Mulyo Rejo Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) itu, Minggu dua pekan lalu.
Di sampingnya, seorang lelaki 60 tahun juga ikut menatap jauh. Namanya Anwar, sehari-hari menjadi Asisten Kebun di lahan seluas 331 hektar itu.
“Lahan ini bagian dari program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang di-launching Pak Jokowi, Oktober tiga tahun lalu. Ada 6 desa yang tergabung di Koperasi Unit Desa (KUD) Mukti Jaya. Waktu itu, launching dipusatkan di Desa Panca Tunggal, sekitar 6 kilometer dari sini,” cerita lelaki 46 tahun ini sambil mengitari jalan poros kebun itu.
Ketua KUD Mukti Jaya ini kemudian merinci enam desa itu; Mulyo Rejo, Cinta Damai, Berlian Makmur, Bukit Jaya, Bumi Kencana dan Panca Tunggal. Semuanya masih di Kecamatan Sungai Lilin. Total luas lahan mencapai 3.848 hektar, tapi yang menjalani peremajaan (replanting) hanya 3.226 hektar.
Meski belum genap tiga tahun, semua tanaman hasil PSR itu sudah berbuah. Saat ini berat rata-rata Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit hasil panen, 4,1 kilogram. Walau tergolong kecil, tapi rendemen --- kadar minyak --- TBS ini mencapai 18,1 persen, itulah makanya dibanderol pakai harga penetapan Dinas Perkebunan (Disbun). Dari hasil panen itu, masing-masing anggota KUD sudah kebagian gelontoran duit antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta setiap bulan.
“Itu penghasilan bersih, setelah dipotong biaya panen dan ongkos angkut. Jumlah penghasilan anggota beragam. Itu terjadi lantaran replanting tiga tahap. Masing-masing tahapan menghabiskan waktu sekitar 5-6 bulan. Sekarang tanaman paling tua sudah berumur 33 bulan, tapi sejak tiga bulan lalu sudah menghasilkan. Perkiraan kami, satu hektar tanaman sudah menghasilkan 6 ton pertahun. Pada Tanaman Menghasilkan (TM) I nanti, produksinya akan di atas 12 ton,” lelaki asal Ngawi Jawa Timur ini nampak optimis.
Tadinya anggota KUD Mukti Jaya ini adalah warga transmigrasi umum yang ditempatkan oleh pemerintah pada tahun 1981-1982. Untuk kehidupan sehari-hari mereka bertanam palawija. Lalu, tahun 1990, perusahaan membuka lahan dan mereka diajak menjadi pekebun plasma --- binaan perusahaan.
“Tapi sejak 8 tahun lalu, kami sudah bertekad menjadi petani mandiri, tidak lagi bermitra dengan perusahaan itu. Alhamdulillah tujuh koperasi lainnya, sebahagian di kecamatan Keluang, sepakat juga untuk replanting mandiri,” kata ayah 8 anak ini.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang bakal menggelontorkan bantuan PSR Rp25 juta per hektar kata Bambang, sempat ragu dengan tekad mereka. Sebab di banyak daerah, replanting kebun plasma rata-rata dikerjakan oleh perusahaan mitra.
Tapi setelah pengurus delapan koperasi ini bolak-balik terbang ke Jakarta untuk meyakinkan BPDPKS, keinginan mereka kesampaian. BPDPKS mengizinkan mereka menjalankan replanting mandiri.
Singkat cerita, setelah urusan administrasi beres, pertengahan tahun 2017, empat dari 8 Koperasi tadi memulai pekerjaan. Tiga koperasi kemudian menyusul. Total lahan yang direplanting mencapai 6000 hektar.
“Tumbang chipping kami kerjasamakan dengan perusahaan berpengalaman, perusahaan yang sudah mengerjakan lahan replanting milik perusahaan besar. Kami minta dibikin RAB yang jelas,” cerita Bambang.
Untuk bibit, koperasi bekerjasama dengan PPKS Medan, Sumatera Utara (Sumut). Kebetulan PPKS punya penangkaran di Dawas dan Sungai Lilin. “Tadinya kami mau bikin pembibitan sendiri, tapi lantaran waktunya mepet, enggak jadi,” katanya.
Lalu urusan pupuk, KUD bekerjasama dengan berbagai penyuplai pupuk dan sarana produksi pertanian (saprodi). “Teman-teman yang dulu sudah bekerjasama dengan kami, kami ajak kembali. Kebetulan kami dulu pengecer pupuk juga,” ujar Bambang.
Uniknya, semua tenaga kerja yang dipakai di lahan replanting itu adalah warga desa itu sendiri. Siapapun boleh bekerja, tapi hasil kerja harus standar, harus sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB). Pemilik kaplingan diprioritaskan. Seleksi alam terjadi, siapa yang tahan kerja, itulah yang tersisa dan jumlah pekerja yang tersisa itu, cukup.
“Hanya 10-20 persen warga desa yang bekerja tetap. Statusnya Buruh Harian Lepas (BHL). Luasan 300 hektar diurus oleh 30-40 orang. Mulai dari perawatan hingga panen, mereka yang bertanggungjawab," urai Bambang.
Sejak lahan dikonversi oleh perusahaan --- diserahkan pengelolaannya kepada KUD tapi hasil panen masih tetap dikirim ke pabrik milik perusahaan --- 23 tahun silam, KUD kata Bambang sudah membikin manajemen sendiri, layaknya perusahaan. Ketua KUD merangkap Manager, lalu ada Asisten Kepala (Askep), Asisten Kebun, Mandor dan Pengawas.
“Setiap desa dikepalai oleh Asisten Kebun, Anwar tadi salah satunya. Tiap asisten dibantu oleh dua orang; tenaga administrator dan mandor. Semua Asisten Kebun dikepalai seorang Askep. Sementara peran Pengawas diambil oleh masing-masing Kelompok Tani,” rinci Bambang.
Semua pekerja kata Bambang mendapatkan digaji, termasuk manager, askep, asisten, mandor dan pengawas. “Sumber gaji kami ya dari duit PSR yang Rp25 juta per hektar itulah. Uang itu cukup kok sampai pertengahan P3. Hitungan sederhananya, untuk di P1, biaya perhektarnya, Rp5,3 juta per tahun. Lalu di P2 naik 20 persen. Alhamdulillah, biaya yang habis di bawah angka yang ada di RAB, tapi hasil kerja, di atas target yang ada di RAB itu, ” kata Bambang, bangga.
Lantaran duit yang habis untuk proses replanting itu minim, nyaris semua koperasi tadi belum memakai duit yang sudah disiapkan oleh bank.
“Sebenarnya Mukti Jaya sudah teken kontrak pinjaman di Bank BNI Rp54 miliar. Tapi sampai sekarang duit itu belum kami ambil. Sudah bolak balik bank bertanya kapan kami akan memakai duit itu. Gimana mau memakai, duit yang ada saja belum habis. Duit belum habis, kebun sudah menghasilkan. Kalau pun nanti kami butuh tambahan duit, paling pakai duit anggota. Kebetulan duit mereka ada sekitar Rp10 juta sampai Rp15 juta di rekening koperasi,” ujar Bambang.
Kalaupun ada yang sudah memakai pinjaman bank, itu lantaran koperasinya sudah sekalian mengurusi infrastruktur kebun. “Yang kami pakai juga hanya Rp2,1 miliar dari total Rp18,1 miliar plafon pinjaman,” cerita Agus Ainur Roziqin, Ketua KUD Sumber Jaya Lestari, Desa Mekar Jaya.
Banyak orang tak percaya dengan apa yang sudah dilakukan oleh Bambang dan kawan-kawan. Sebab di daerah lain, duit bantuan BPDPKS yang Rp25 juta per hektar itu, untuk P0 saja tidak cukup, boro-boro hingga P1.
“Kalau enggak mendengar dan menengok langsung, saya enggak percaya,” kata M Yunus. Mantan manager di salah satu perusahaan besar di Sumsel yang juga Ketua Harian DPW Apkasindo Sumsel ini, kebetulan ikut berbincang dengan Bambang.
Tak terasa, sore mulai merangkak di Desa Mulyo Rejo itu. Bambang dan kawan-kawan pun mulai beranjak.
“Insya Allah, kami akan membikin Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sendiri. PKS itu enggak besar-besar. Tapi teknologinya sudah modern. Kami ingin menunjukkan kepada luar bahwa di sini, di Musi Banyuasin, sudah lahir petani kelapa sawit modern. Petani kelapa sawit yang bisa berdikari. Alhamdulillah, semua ini bisa kami lakukan, karena kami sadar, semua ini adalah amanah,” kata Bambang.
Matanya kembali menatap dedaun hijau pohon kelapa sawit itu. “Kapanlah Pak Jokowi datang lagi kemari, memanen buah kelapa sawit yang ditanam tiga tahun lalu ini,” Bambang bergumam.
Komentar Via Facebook :