Berita / Bisnis /
Pelaku Usaha Minta Penyesuaian Tarif Ekspor CPO, Ini Alasannya
Jakarta, Elaeis.co - Pengenaan pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) untuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang berlaku saat ini dinilai terlalu tinggi. Perlu ditetapkan tarif baru untuk mengakomodir keseimbangan yang lebih adil bagi kepentingan pelaku di seluruh mata rantai industri sawit.
Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Tofan Mahdi mengatakan, akumulasi PE dan BK yang harus dibayar pelaku usaha saat ini setidaknya mencapai US$399 per ton. Per Juni, BK yang dikenakan untuk ekspor adalah US$183 per ton karena harga referensi telah berada pada rentang US$1.200 sampai US$1.250 per ton. Sedangkan untuk PE telah mencapai US$255 per ton karena harga CPO stabil di atas US$995 per ton.
“Kami pelaku usaha masih menunggu aturan baru karena sejauh ini belum jelas apakah yang diturunkan PE atau BK. Keduanya adalah komponen pajak yang harus kami tanggung,” kata Tofan, seperti dikutip Bisnis.com, Minggu (13/6).
Dia mengungkapkan bahwa rencana penurunan BK pernah disampaikan oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam suatu forum yang dihadiri pelaku usaha. Selama ini, BK diberlakukan untuk mendorong ekspor produk hilir dan mulai diterapkan ketika harga CPO melampaui US$750 per ton.
“Kebijakan untuk mendorong ekspor produk hilir sendiri bisa dibilang sudah sukses karena mayoritas ekspor kita, sekitar 60 sampai 70 persen dari 34 juta ton ekspor, telah berbentuk refined products. Dari situ terlihat bahwa usaha penghiliran telah berjalan dengan baik dan kami tentu mendukungnya,” katanya.
Terkait rencana revisi PE, menurut Tofan, pelaku usaha tidak terlalu mempermasalahkannya selama besaran baru yang ditetapkan pemerintah tetap mengakomodasi stabilitas harga dan mendukung kebijakan biodiesel.
Dia mengemukakan, PE yang dialokasikan untuk pembiayaan mandatori biodiesel telah berhasil meningkatkan serapan di dalam negeri dan secara langsung menjaga pasokan dan stabilitas harga CPO di pasar internasional. Meski demikian, dia tetap mengharapkan ada penyesuaian PE demi memastikan harga tandan buah segar (TBS) tidak ikut tertekan.
“Kami mendukung program biodiesel. Namun, pelaku usaha hulu sawit berharap ada tarif yang lebih berkeadilan dan kondusif bagi sektor hulu. Kita perlu lihat apa benar besaran pungutan sejalan dengan kebutuhan untuk mandatori. Karena kalau gap diesel dan biodiesel makin lebar, dana untuk menyokong lebih besar. Perlu formulasi lagi karena pada akhirnya kenaikan pungutan akan berdampak pada harga jual TBS petani ke perusahaan,” papar Tofan.
Terpisah, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan, revisi PE merupakan hal yang tidak bisa dihindari dan lumrah dilakukan untuk menyikapi kondisi pasar yang dinamis. Hal tersebut juga bertujuan untuk mengevaluasi dan memastikan pengembangan industri sawit tetap berkelanjutan.
“Revisi PE adalah hal yang biasa dalam rangka menyikapi situasi pasar. Tujuannya untuk evaluasi dan memastikan bahwa pengembangan industri sawit harus tetap berkelanjutan,” katanya.
Komentar Via Facebook :