Berita / Nusantara /
Pemerintah Diminta Tanggung Jamsostek Petani Sawit Perempuan
Bengkulu, elaeis.co - Hampir semua petani kelapa sawit perempuan belum terlindungi oleh jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek). Pemerintah diminta menyiapkan anggaran untuk meng-cover-nya.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Bengkulu, Aizan Dahlan mengatakan, petani sawit perempuan pada dasarnya juga berhak terlindungi oleh jamsostek.
"Inilah yang kita lihat, banyak pekerja perempuan khususnya petani kelapa sawit belum puunya jamsostek. Jika terjadi sesuatu saat dia bekerja, maka tidak ada asuransi yang menjamin perobatannya," kata Aizan, kemarin.
Menurutnya, perempuan lebih rentan mengalami kecelakaan kerja dibanding pria saat beraktivitas di kebun sawit.
"Kalau memang negara hadir, petani sawit perempuan wajib dilindungi, baik itu jaminan kesehatan maupun jaminan jika terjadi kecelakaan kerja," tuturnya.
"Kalau perempuan bekerja di perusahaan sawit, tentu diasuransikan oleh pemberi kerja. Tapi kalau petani sawit perempuan, mana ada jaminan perlindungannya. Harusnya itu dipikirkan oleh pemerintah," tambahnya.
Dia mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya mengambil keuntungan dari kelapa sawit namun juga harus menjamin dan memberikan perlindungan kepada petani kelapa sawit di daerah.
"Petani perempuan paling rentan dan berisiko mengalami kecelakaan kerja, pemerintah wajib menjaminnya," tukasnya.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware menambahkan, beberapa investigasi dan penelitian mengungkap bahwa perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan di industri sawit. Di beberapa kasus, pekerja perempuan bahkan tidak diperhitungkan dalam rantai produksi.
"Ketika perempuan atau istri atau ibu melakukan pekerjaan di ranah produktif, masih dianggap membantu sehingga sepertinya tidak terlihat serta tidak masuk dalam statistik formal," tandasnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Bengkulu, Jakfar, membagi pekerja perempuan dalam dua kelompok. Pertama, kelompok petani swadaya dari transmigran yang memiliki lahan sawit terbatas, hanya mengelola 2 sampai 3 hektare.
"Di kelompok ini, biasanya perempuan aktif ikut mengelola kebun keluarga. Tujuannya untuk mengurangi biaya operasional,” tuturnya.
Kelompok kedua adalah masyarakat lokal dengan luas lahan beragam dan kebun sawit bukan satu-satunya sumber penghasilannya. Di kelompok ini, menurutnya, perempuan memiliki ruang sendiri seperti pekarangan.
“Di kelompok ini peran perempuan biasanya terbatas, misalnya mengutip brondolan dan menebas piringan. Kalau kebunnya lebih 2 hektare, biasanya petani mengupah pekerja dan kebun sawit dianggap memiliki resiko tinggi yang tidak cocok untuk perempuan," tutupnya.
Komentar Via Facebook :