Berita / Lingkungan /

Perpanjang Moratorium, atau Laju Deforestasi akan Meningkat

Perpanjang Moratorium, atau Laju Deforestasi akan Meningkat

Ilustrasi (Republika.co.id)


Jakarta, Elaeis.co - Pemerintah didesak memperpanjang pemberlakukan Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Penerapan regulasi yang dikenal dengan moratorium sawit itu akan berakhir beberapa bulan ke depan.

Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri hingga 41% dengan bantuan internasional pada 2030. Penurunan emisi sebesar 17,2% hingga 38% ditargetkan berasal dari sektor kehutanan.

“Dalam kick-off persiapan delegasi Indonesia menuju Glasgow Climate Change Conference 19 Juli lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahkan telah mengumumkan Agenda ‘Indonesia Forestry and other Land Use (FOLU) 2030’ dimana Indonesia dibayangkan akan mencapai net sink karbon di sektor kehutanan dan lahan pada 2030,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Elaeis.co, Senin (26/7).

Menurutnya, perpanjangan moratorium sawit - yang bisa menahan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan serta melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin sawit - akan mendorong tercapainya ambisi iklim tersebut. “Perpanjangan moratorium penting untuk dilakukan karena dapat memberikan dampak positif berupa dukungan pasar global terhadap produk sawit Indonesia, memicu peningkatan produktivitas lahan, penyelesaian tumpang tindih dan konflik lahan, serta berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim,” katanya.

Perpanjangan moratorium juga dinilai akan memperkuat langkah korektif pemerintah untuk menurunkan laju deforestasi secara signifikan. “Masih ada sekitar 5,7 juta hektar hutan alam di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang dapat dilepaskan untuk perkebunan. Jika moratorium sawit tidak diperpanjang dan diperkuat, laju deforestasi akan kembali meningkat dan Indonesia terancam gagal untuk mencapai komitmen iklimnya,” jelasnya.

Menurutnya, sepanjang 2019 hingga 2020, di antara 6 jenis izin dan konsesi, deforestasi hutan alam terbesar terjadi di wilayah izin perkebunan sawit yakni sebesar 19.940 hektar. 

“Luas hutan alam yang berada di wilayah izin sawit juga cukup signifikan. Berdasarkan tutupan lahan 2019, tercatat 3,58 juta hektar hutan alam berada di izin sawit. Sekitar 1,43 juta hektar tercatat berada di pelepasan kawasan hutan yang merupakan objek evaluasi perizinan dalam kebijakan moratorium sawit,” bebernya.

Implementasi moratorium sawit, menurutnya, memberikan harapan bahwa hutan alam yang masih ada di dalam izin sawit akan dievaluasi dan dikembalikan menjadi kawasan hutan.

Hasil analisis Yayasan Madani Berkelanjutan juga menemukan setidaknya terdapat 24,2 juta hektar ekosistem gambut di Indonesia di mana 6,2 juta hektar diantaranya masuk ke dalam izin sawit dengan detail lahan gambut seluas 3,8 juta hektar.

“Instrumen evaluasi dan review izin yang ada di dalam moratorium sawit dapat menyelamatkan luasan gambut tersebut. Keberadaan lahan gambut harus dilindungi dan dipulihkan mengingat 99,3% lahan gambut di Indonesia mengalami kerusakan dan sangat beresiko terbakar saat musim kering,” katanya.

“Hasil analisa kami, dengan menyelamatkan 3,8 juta hektar luas gambut pada fungsi alamnya dapat menghindari pelepasan 11,5 juta ton karbon per tahun akibat aktivitas pembakaran ataupun konversi lahan yang tentunya akan berkontribusi pada komitmen iklim Indonesia,” tambahnya.

Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL, Adrianus Eryan, memberikan catatan khusus terkait transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan inpres tersebut. “Mestinya pemerintah tidak ragu membuka data dan capaian inpres ini. Misalnya berapa banyak data sawit dalam kawasan hutan yang telah dikonsolidasikan dan diverifikasi, berapa banyak izin sawit yang telah direview, hingga berapa banyak pelanggaran yang telah ditindak dan diberikan sanksi,” katanya.

Menurutnya, transparansi dan akuntabilitas sangat dibutuhkan karena akan membuka ruang partisipasi dan kolaborasi yang lebih luas. Tidak hanya dengan organisasi masyarakat sipil, tapi juga pemerintah daerah yang sudah memiliki inisiatif baik untuk menjalankan inpres tersebut. “Jika memang pekerjaan rumah sebagaimana diamanatkan dalam inpres belum diselesaikan, maka sudah selayaknya diperpanjang,” tukasnya.

Juru Kampanye FWI, Agung Ady, menambahkan, dari pengalaman selama 3 tahun ini, pemerintah baru bisa menyelaraskan data terkait tutupan dan luas izin sawit. “Pemerintah dan para pihak mesti sadar bahwa indikator keberhasilan bukan hanya soal tidak adanya pemberian izin baru selama masa tenggat waktu, namun juga harus bisa menyelesaikan persoalan produktivitas, keberterimaan pasar, deforestasi, kepastian hukum petani sawit, serta tumpang tindih dan konflik lahan. Pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dengan melaksanakan perpanjangan moratorium ini sebagai langkah tindak lanjut pembenahan tata kelola industri perkebunan kelapa sawit secara keseluruhan,” tegasnya.

Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak, Rahmadha, menilai terpilihnya Indonesia sebagai Co Chair COP 26 bersama Inggris mengindikasikan bahwa dunia memberikan nilai positif terhadap implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Indonesia walaupun pandemi dan perubahan iklim sedang berlangsung.

“Momentum ini harus dijaga melalui serangkaian penguatan aturan dan tata kelola di sektor FOLU, salah satunya perkebunan kelapa sawit. Sehingga perpanjangan dan penguatan moratorium sawit sangat penting diimplementasikan guna menghindari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit hingga akhirnya dapat mencapai target netral emisi pada tahun 2030,” ucapnya.

Komentar Via Facebook :