Berita / Nasional /
Perppu Ciptaker Inkonsisten
Jakarta, elaeis.co - Ketua Komite III DPD RI Hasan Basri menilai Peraturan Pemerintah Pengganti (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, Perppu pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Hasan, pemerintah mestinya memperbaiki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang inkonstitusional bersyarat sesuai dengan arahan MK RI, bukan mengganti dengan Perppu.
"Dalam pertimbangan putusan MK, Undang-Undang Cipta Kerja cacat formil karena tata cara pembentukannya tidak didasari pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan Undang-Undang," kata Hasan dikutip elaeis.co dari keterangan resminya, Sabtu (7/1).
Hasan mengaku, dalam pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden.
"Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja yang dibahas bersama DPR RI dan DPD RI, dengan tegas kita menolak. Sebab sesuai pernyataan MK, cacat formil karena prosedurnya bermasalah," ujarnya.
Bahkan, Hasan yang merupakan salah satu koordinator mewakili DPD RI pada saat proses pembentukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja juga mengaku kecewa diterbitkannya Perppu itu. Apalagi tanpa melibatkan DPD RI.
"Sekarang pemerintah justru mengeluarkan Perppu yang menghilangkan kewenangan legislasi dari DPD RI, karna Perpu menjadi sah apabila disetujui oleh DPR RI," kata dia
“Kami akan mengusulkan agar DPD RI dapat melakukan gugatan antar lembaga jika nantinya Perppu ini disetujui oleh DPR RI. Alasannya karena DPD RI tidak dilibatkan oleh pemerintah dan DPR,” tegasnya.
Senator asal Kalimantan Utara ini juga menilai, penerbitan Perppu Cipta Kerja harus pada kondisi kegentingan yang memaksa, sesuai amanat ketentuan Pasal 22 UUD NRI 1945, Perppu hanya bisa diterbitkan apabila ada kegentingan memaksa.
Hasan mengatakan, berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, ada tiga syarat untuk memenuhi ihwal 'kegentingan memaksa' tersebut, yakni;
Pertama, ada masalah hukum yang mendesak dan butuh ditangani sesegera mungkin. Kedua, ada hukum tetapi tidak menyelesaikan masalah atau masih menimbulkan kekosongan hukum, dan yang ketiga butuh proses yang cepat untuk menghasilkan produk hukum.
“Kenyataannya, tidak ada hal yang mendesak secara ekonomi dalam konteks masyarakat secara umum,” ujarnya.
Lebih jauh Hasan juga mempertanyakan kegentingan apa yang sifatnya memaksa sehingga pemerintah harus mengeluarkan Perppu tersebut.
Ia menilai, alasan pemerintah akan ketidakpastian ekonomi global yang melandasi penerbitan Perppu ini cenderung tidak masuk akal.
“Jika terkait kondisi global ada inkonsistensi. Jika soal capaian Presiden Jokowi, baru saja membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi diantara negara G20. Tapi penerbitan Perppu ini seolah-olah kondisi Indonesia darurat dan underperform,” kata dia.
Hasan menambahkan, rentang waktu dua tahun yang diberikan oleh MK RI untuk memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja cukup membuktikan bahwa penerbitan Perppu bukan hal yang mendesak, kecuali jika definisi kebutuhan mendesaknya adalah kepentingan investor dan pemerintah semata.
“Tapi, di titik ini saja sudah salah. MK pun jelas mengamanatkan pemerintah untuk memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja, bukan mengeluarkan Perppu,” kata Hasan.
“Apa yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan perintah MK, bahkan bisa dibilang pemerintah lari dari tanggung jawab untuk memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja. Artinya, penerbitan Perppu ini menunjukkan adanya upaya melanggar putusan MK,” kata Hasan.
Lebih lanjut, Hasan Basri menilai Perppu Cipta Kerja ini bisa digugat ke MK oleh publik maupun pihak yang merasa kurang puas. Gugatan bisa dilakukan dari segi proses administrasi pembentukan Perppu hingga materi muatannya.
Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Jumat 30 Desember 2022.
Perppu yang berisi 1.117 halaman dan 186 pasal ini bertujuan menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
MK menyatakan Undang-Undang tersebut inkonstitusional bersyarat selama dua tahun, sehingga Undang-Undang belum bisa diimplementasikan.
Komentar Via Facebook :