Berita / Pojok /
Pertumbuhan Tanpa Pembangunan
Guru saya Prof. Bungaran Saragih pernah menyatakan (tahun 2016) dalam sebuah wawancara yang naskahnya kemudian dibukukan (tahun 2020): Industri jagung kita tumbuh tapi tanpa pembangunan, mengalami situasi 'growth without development'.
Situasi itu menurut Prof Saragih ditunjukkan oleh lima hal yang masih terjadi di industri jagung: 1) Petani jagung masih 'gurem' dan tidak terorganisir dengan baik, tidak efisien dan efektif dalam berkompetisi;
2) Industri hilir produk jagung masih berada pada tahap 'primitive capitalism' yaitu industri yang berpikir mencari untung jangka pendek untuk diri sendiri, padahal sekarang sudah jamannya kapitalisme modern yang berpikir mencari untung bersama-sama dengan semua pelaku dalam sistem hulu-hilirnya.
3) Infrastruktur logistik yang belum memadai, dan infrastruktur yang sekarang dibangun perlu diingatkan agar dirancang untuk kegiatan (agri)bisnis;
Baca juga: Alam Takambang Menjadi Guru
4) Statistik kita hanya menulis jagung, tanpa membedakan jagung pakan, jagung makanan, daun jagung, dan sebagainya; itu menunjukkan sistem informasi yang buruk;
Serta 5) Kebijakan publik yang mudah berubah dan tidak konsisten, yang akhirnya justru merugikan petani atau industri.
Peringatan Prof. Bungaran Saragih itu perlu membuat waspada bahwa ekonomi dapat bertumbuh tetapi tidak menjadi lebih baik.
Bertumbuh artinya menjadi lebih besar dan dengan nilai bisnis yang mungkin terus bertambah.
Tetapi pertumbuhan itu tidak disertai dengan peningkatan efisiensi, produktivitas, daya saing, kemampuan menghadapi resiko dan ketidak pastian, kemampuan untuk mengikuti perkembangan tuntutan pasar, serta tidak disertai juga dengan peningkatan "sustainability' atau 'fairness'.
Fenomena pertumbuhan tanpa pembangunan ternyata juga dapat terjadi tidak hanya di jagung atau pertanian pada umumnya, tetapi pada bidang lain. Misalnya pada industri retail (eceran).
Laporan Euro International tentang Top 100 Retailer in Asia 2021 menyebutkan bahwa lima pelaku retail di Indonesia --- Tokopedia, Alfamart, Indomart, Bukalapak, dan Shopee --- merajai industri retail Asia Tenggara dengan 'market-cap' mencapai USD31,8 billion.
Empat dari perusahaan retail itu adalah perusahaan Indonesia, sebagian besar dari usahanya di Indonesia.
Shopee yang berasal dari Singapura memiliki kegiatan usaha di Indonesia yang besar, disamping beberapa negara lain.
Ada juga retail milik asing yang beroperasi di Indonesia, seperti Watson, Aeon, Robinson, dan Central; tetapi jumlahnya relatif terbatas.
Jadi, dapat dikatakan nilai usaha retail yang besar itu diciptakan oleh perusahaan Indonesia di pasar Indonesia.
Nilai bisnis tersebut tumbuh sangat pesat dibandingkan tahun-tahun lalu. Bahkan pada usaha lokapasar (market-place) digital, pertumbuhan tahun 2020 mencapai beberapa kali lipat didorong oleh situasi pandemi.
Pertanyaannya, apakah pertumbuhan retail itu disertai dengan pembangunan industri eceran di Indonesia?
Pada beberapa komponen, pembangunan retail cukup terasa. Pengecer mampu membangun sistem distribusi yang baik, antara lain ditandai dengan penerapan satu harga untuk produk yang sama di hampir semua gerai ecerannya.
Sistem pengisian kembali (furnishing) stok berjalan cepat dan efisien. Tampilan gerai juga semakin baik, higienis dan lebih terjamin mutunya.
Namun penerapan prinsip 'modern capitalisme' yang berpikir menyeluruh dan jangka panjang tampaknya masih belum menjadi prioritas. Setidaknya dapat dilihat pada retail 'off-line'.
Misalnya, apakah setiap gerai telah mengedepankan aspek 'sustainability' dilihat dari pengelolaan sampah dan penghematan energi?
Atau apakah perdagangan yang dilakukan telah turut membangun sistem yang menjadi 'fair-trade'? Atau menghindari dominasi pasar serta memberi kesempatan tumbuhnya wirausaha yang lebih banyak dengan mengedepankan sistem waralaba atau licensing?
Atau apakah retail itu telah turut mendidik konsumen untuk menjadi konsumen cerdas yang lebih peduli dan dengan militan memilih produk tetangga dan bangsa sendiri?
Atau ikut mengajak konsumen memperhatikan tata aturan seperti label, waktu kadaluarsa, nilai gizi, dan keberlanjutan?
Pada retail 'online', resiko pertumbuhan tanpa pembangunan itu sudah ada di depan mata. Retail 'online' memang masih relatif baru, tetapi perkembangannya luar biasa.
Pertumbuhan jelas telah terjadi. Namun aspek pembangunannya harus lebih dikawal dan diusahakan agar benar-benar dapat terjadi.
Lokapasar 'online' itu memang dibuat oleh anak-anak muda Indonesia, tetapi pemegang sahamnya sekarang sebagian besar sudah 'bukan-Indonesia' lagi.
Kunci dibelakang retail online sebenarnya adalah teknologi digital, IoT, dan ICT; padahal retail online yang beroperasi di Indonesia masih lebih mengejar market share yang lebih besar dengan (hanya) memanfaatkan teknologi yang sudah ada dan disediakan pihak lain.
Prof Saragih menyatakan bahwa kita mengalami masalah yang berulang-ulang dari tahun ke tahun karena kita seolah 'menerima' pertumbuhan tanpa pembangunan itu terjadi.
Contoh pernyataannya itu terlihat pada situasi agribisnis jagung, dan juga beberapa agribisnis lain.
Jika fenomena itu terjadi juga pada industri lain, maka sungguh itu adalah bukti potret suram kita sebagai bangsa yang terjerumus dalam keburukan itu-itu lagi.
Padahal telah ditamsilkan bahwa hanya keledailah yang jatuh di lubang yang sama.
Bayu Krisnamurthi
Lahir di Manado 18 Oktober 1964. Doktor ilmu ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). Wakil Menteri Pertanian, Wakil Menteri Perdagangan di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Staf Ahli Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Penanggulangan Kemiskinan 2005-2008. Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) 2015-2017.
Komentar Via Facebook :