Berita / Serba-Serbi /
Perusahaan Sawit Dibebaskan MA, Jaksa Diminta Ajukan PK
Pekanbaru, elaeis.co - Kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di areal Hak Guna Usaha (HGU) PT Gandaerah Hendana seluas sekitar 580 hektare yang terjadi pada September 2019 lalu berakhir antiklimaks.
Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum atas perkara nomor 4991 K/Pid.Sus-LH/2022 itu pada 7 November 2022 lalu.
"MA menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Riau yang menyatakan bahwa korporasi perkebunan kelapa sawit itu tidak bersalah atas kebakaran lahan dalam izin HGU. Padahal jika dilihat dari putusan persidangan di Pengadilan Negeri Rengat, perusahan terbukti bersalah dan dihukum membayar denda perbaikan akibat kebakaran sebesar Rp 216 miliar," kata Jefri Sianturi, Koordinator Umum LSM Senarai kepada elaeis.co.
Menurutnya, penegakan hukum sektor lingkungan hidup terkesan mundur paska keluarnya putusan MA tersebut. Pendapat tersebut didukung organisasi lingkungan lainnnya seperti Walhi, Jikalahari, dan ICEL.
Perusahan tersebut diduga sengaja tidak melindungi lahannya dan membuat skenario lahan dikuasai masyarakat dan merekalah yang harus dimintai pertanggungjawaban. Dugaan ini mincul karena perusahaan melepas sebagian HGU pada saat proses penyelidikan.
Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, berpendapat PT Gandaerah Hendana sudah memberikan dampak lingkungan yang besar dan disinyalir telah merugikan negara dari sektor pajak. Berdasarkan hasil Pansus Monev Perizinan DPRD Riau, katanya, pada 2015 ditemukan aktivitas korporasi di luar izin yang berpotensi merugikan negara dari sektor pajak P3 (PPN,PPh, PBB) sebesar Rp 50 miliar setiap tahun.
Selain itu, Okto menduga adanya praktek korupsi pertanahan oleh pihak perusahaan setelah kejadian kebakaran sebab manajemen mengusulkan pengurangan sebagian izin HGU termasuk yang terbakar ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Inhu seluas 2.791,49 hektare.
"Usaha pengurangan izin HGU yang di dalamnya merupakan lahan terbakar dan sedang proses hukum diduga sebagai upaya untuk lari dari tanggung jawab serta jeratan hukum," pungkasnya.
Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan Walhi Riau, Umi Marufah, mengungkapkan hasil temuan lapangan di mana seorang pemilik lahan mengaku bahwa tanah di lahan bekas HGU yang terbakar dibelinya dari perangkat Desa Seluti, Kecamatan Lirik, Kabupaten Indragiri Hulu.
"Alas haknya berupa surat keterangan ganti rugi (SKGR) sejak setahun lalu, harganya Rp 33 juta perhektare," bebernya.
Menurutnya, jumlah masyarakat yang menggarap kebun kelapa sawit bekas terbakar di HGU PT Gandaerah Hendana ditaksir sekitar 30 kepala keluarga (KK) dengan total luasan kurang lebih 50 hektare. Mereka mengelola lahan tersebut sektar setahun sampai tiga tahun. Hal ini menunjukkan bahwa klaim lahan yang terbakar telah dikuasai masyarakat sejak lama tidak seluruhnya benar.
Difa Shafira, aktivis ICEL, menyebutkan, hakim kasasi mengabaikan relevansi dokumen perizinan dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada PT Gandaerah Hendana dalam mengadili perkara.
"Putusan tingkat banding dan kasasi sangat disayangkan, padahal putusan PN Rengat yang dianulir telah menunjukkan adanya penegakan hukum lingkungan yang berorientasi pemulihan melalui pidana tambahan sesuai ketentuan Pasal 119 UU nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," tukasnya.
Atas keluarnya putusan bebas terhadap perusahaan itu, para aktivis khawatir terhadap nasib pemulihan lahan yang terbakar.
"Kami dari empat organisasi lingkungan hidup bersepakat untuk mendorong kejaksaan mengajukan Peninjauan Kembali (PK)," pungkasnya.
Komentar Via Facebook :