Berita / Sumatera /
Petani Desak Pemda Tutup Loading Ramp Sawit
Bengkulu, elaeis.co - Pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Bengkulu diminta menertibkan loading ramp sawit. Kehadiran pedagang perantara ini telah menyebabkan distorsi harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang ditetapkan melalui kesepakatan tripartite antara perusahaan, pemerintah, dan petani sawit.
Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Bengkulu, Jakfar, mengatakan, aktivitas pengepul TBS ilegal atau kerap disebut loading ramp telah mengganggu pola kompetisi harga TBS sawit yang sehat sehingga merugikan perusahaan serta petani kelapa sawit. "Pabrik Kelapa Sawit (PKS) tanpa kebun melalui loading ramp telah mengganggu sistem tata niaga TBS yang ada," kata Jakfar, Selasa (1/8).
Menurutnya, semua petani baik plasma maupun sepakat meminta dilakukannya penertiban tata niaga kelapa sawit di Bengkulu. Namun, hingga saat ini belum ada kebijakan yang mengatur loading ramp ini. "Kami sangat khawatir karena sekitar 70% hasil panen petani plasma lari ke loading ramp, diperparah lagi maraknya pencurian sehingga semakin menekan perusahaan," ungkapnya.
Kehadiran loading ramp yang tidak terkontrol oleh pemerintah membuktikan bahwa penerapan tata niaga TBS sawit masih berjalan dengan cara yang bebas, padahal dampaknya sangat membahayakan bagi kelangsungan investasi di Bengkulu. Loading ramp ini juga berpotensi mengakibatkan Koperasi Unit Desa (KUD) gulung tikar karena anggotanya tidak lagi menjual TBS sawit melalui koperasi. "Padahal sumber pendanaan koperasi berasal dari optimalisasi hasil panen petani plasma," tambahnya.
Dampak akhir dari situasi ini bisa berupa PHK besar-besaran karena tidak lancarnya operasional perusahaan, serta makin maraknya pencurian buah sawit. "Kami meminta pemda segera bertindak, loading ramp merugikan banyak pihak dan bisa memicu permasalahan sosial," tandasnya.
Pemilik loading Ramp di Bengkulu, Berlian Utama, mengakui bahwa pihaknya menetapkan harga TBS lebih murah dari harga pembelian oleh PKS. Saat ini harga TBS di tingkat pabrik mencapai Rp 1.900/kilogram, sedang di tingkat petani hanya sekitar Rp 1.400/kilogram.
"Selisih itu bukan karena kami ambil untung banyak. Tapi karena ada pengeluaran untuk biaya angkut TBS dari kebun ke PKS yang cukup mahal," tukasnya.
Menurutnya, biaya angkut TBS saat ini naik hingga 25 persen karena harga BBM mahal serta lokasi kebun sawit jauh dari jalan utama. "Jalan ke dalam kebun juga rata-rata masih tanah. Jadi, untuk menutupi kerugian, kami turunkan harga pembelian TBS," paparnya.
"Kami juga terpaksa pakai Dexlite. Jika mengandalkan solar subsidi, sudah langka sehingga kendaraan operasional tidak akan jalan. Sementara TBS harus cepat diantar ke PKS supaya tidak busuk," tambahnya.
Dia keberatan jika pemerintah melarang loading ramp beroperasi. Menurutnya, keberadaan usaha itu juga dibutuhkan petani karena bersedia menjemput langsung buah sawit meski jauh di pelosok.
Komentar Via Facebook :