Berita / Feature /
Petani: Kami Lebih Takut RPP Ketimbang Covid-19
Jakarta, elaeis.co- Dua bulan belakangan, ragam pengamat, praktisi, pakar, guru besar perguruan tinggi ternama di Negeri ini mengatakan begini; ada yang tak beres pada klaim kawasan dan lantaran itu, apa yang sudah dikuasai oleh masyarakat, musti dilepas tanpa syarat.
Salah satu alasan untuk itu adalah bahwa tutupan hutan Indonesia masih nomor dua di dunia setelah Brazil, luasnya masih mencapai 53 juta hektar.
Tapi dua poin penting itu rupanya masih belum bisa membikin para petani kelapa sawit tenang, terutama petani kelapa sawit yang kebunnya diklaim dalam kawasan hutan.
Sebab selama mengikuti proses penggodokan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan Undang-Undang Cipta Kerja, pasal-pasal yang didapati oleh petani justru pasal-pasal mematikan.
Misalnya begini; di UUCK dibilang bahwa lahan yang sudah diusahai oleh petani minimal 5 tahun, akan di-enclave, tapi di RPP syarat minimal itu malah membengkak menjadi 20 tahun.
Masih di RPP itu, Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) disebut terbit bersamaan dengan petani menanam sawit. Sementara, aturan STDB itu baru ada sejak tahun 2008, sementara petani menanam sawit jauh sebelum itu.
Satu lagi, petani kelapa sawit disebut wajib tinggal di kebun, padahal saat ini pekebun kelapa sawit tidak hanya petani murni, tapi juga polisi, wartawan, pengacara, hingga militer.
Yang membikin celaka sebenarnya, bahwa 2,73 juta hektar kebun sawit petani yang diklaim dalam kawasan hutan itu, masih belum seberapa dibanding lebih dari 2000 desa yang juga di klaim dalam kawasan hutan.
Di Kalimantan Tengah (Kalteng) saja, tak kurang dari 700 desa masuk dalam klaim kawasan hutan, termasuk sejumlah kota kecil yang ada di sana.
"Otoritas kehutanan seenaknya menunjukkan warna dalam peta, sesuai kode kawasan hutannya. Jengkel saya menengok, seolah-olah peta yang mereka bikin itu 'Tuhan'," rutuk Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalteng, JMT Pandiangan dalam siaran pers yang diterima elaeis.co.
Ketua DPW Apkasindo Sumatera Utara (Sumut) Gus Dalhari Harahap juga ngedumel. "Di satu sisi, sawit petani diklaim dalam kawasan hutan, tapi di sisi lain 32 juta hektar tutupan hutan diberikan kepada korporasi dengan dalih izin. Ini keterlaluan," rutuk lelaki 50 tahun ini.
Akhmad Indradi, lelaki 43 tahun ini pemerintah koreksi diri dengan kenyataan yang ada. Kalau pemerintah pernah memikirkan ruang jelajah rakyat, sedari awal pasti sudah disiapkan, bukan malah menyiapkan lahan untuk korporasi dan binatang.
"Masa lebih berharga binatang dari rakyat, pakai istilah dilindungi pula. Saya hanya meminta supaya semua hak rakyat dibebaskan dari klaim kawasan hutan, itu hutang pemerintah yang harus dibayar. Beruntung pemerintah tidak dituntut oleh rakyat atas pengabaian ruang jelajah rakyat itu," kata Ketua DPD Apkasindo Kabupaten Penajam Kalimantan Timur (Kaltim) ini.
Di sisi lain, Sekretaris DPW Apkasindo Papua Barat, Dorteus Paiki, meminta Presiden Jokowi untuk berani menyelesaikan sengkarut lintas rezim presiden.
"Masyarakat Papua Barat tak suka yang bertele-tele, kami butuh hidup, bukan mau kaya raya. Ingat, petani sawit adalah pemersatu NKRI dari Sabang sampai Merauke, jangan dibolak balik," tegasnya.
"Pemerintah mustinya taat kepada UU Dasar 45, bahwa pemerintah bertanggungjawab pada kehidupan rakyat, bukan malah terus-terusan membelenggu dan memberi kesulitan kepada rakyat," kata Ketua DPW Apkasindo Papua, Pdt. Albert Yoku pula.
Seperti seorang ayah dan ibu dalam sebuah keluarga kata Ketua Forum Masyarakat Tabi Papua ini (FMTP), ayah dan ibu yang mencari jalan bagi kemajuan anak-anaknya.
"Secara kekeluargaan nasional, seluruh rakyat sudah mengangkat presiden dan menteri sebagai bapak mereka, maka rakyat sebagai anak, kalau ada masalah, harus dicari jalan keluarnya. Jangan biarkan anak menangis, bapak dan ibu harus memberikan kemudahan kepada anak," pintanya.
Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung menyebut bahwa sudah terlalu banyak keluhan para petani yang sampai padanya, tak hanya soal klaim kawasan hutan, tapi juga terkait sertfikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Khawatir petani marah akibat pasal-pasal yang memberatkan petani di RPP dipaksakan kata lelaki 48 tahun ini, DPP Apkasindo langsung berkirim surat ke Presiden Jokowi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tapi tetap saja pasal-pasal mematikan berseliweran di RPP itu.
Menurut lelaki 48 tahun ini, ISPO tidak akan pernah bisa didapat petani kalau masalah legalitas lahannya belum kelar.
"Bagi petani, ISPO itu sudah kayak surat keramat. Kalau RPP tidak bisa berpihak pada petani, itu sama saja dengan mematikan petani. Jujur, sekarang petani lebih takut dengan RPP ketimbang Covid-19," tegas ayah dua anak ini.
Bagi anggota Tim Serap Aspirasi RPP, Prof Budi Mulyanto, hak atas tanah adalah final, apalagi jika rakyat sudah punya legalitas meski hanya surat desa.
"Kepala Desa juga pemerintah, kalau dia sudah mengeluarkan legalitas hak, mestinya dihargai," kata Prof Budi Mulyanto.
Dari jaman belanda kata lelaki 64 tahun ini, hak-hak pribumi diakui, namanya Indonesisch bezitsrecht.
"Itu maknanya adalah bahwa hak atas tanah masyarakat pada jaman penjajahan diakui. Lantaran itu hak azasi manusia, sudah selayaknya diakui dan dihargai. Masak setelah merdeka, menjadi bangsa, negaranya diperintah oleh bangsa sendiri, hak atas tanah itu malah enggak diakui. Ingat, yang memperjuangkan dan membangun NKRI ini adalah rakyat Indonesia, jangan sia-siakan mereka," ujar Budi tegas.
Komentar Via Facebook :