Berita / Nusantara /
Petani Minta Tanggung Jawab Pemerintah, Jangan Cuma Keruk Pajak
Bangko, elaeis.co - Ketua DPD Apkasindo Merangin, Joko Wahyono, menilai penumpukan CPO di Indonesia disebabkan oleh tingginya pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang ditetapkan pemerintah.
“Pajak ekspor CPO sampai Rp 14.200/kg. Tentunya ini berdampak pada harga TBS, makin dipencet oleh pabrik kelapa sawit (PKS),” kata Joko kepada elaeis.co.
“Izin ekspor juga sulit untuk keluar sehingga CPO numpuk. Pemerintah harus bertanggung-jawab, pemerintah harus mempermudah regulasi ekspor dan turunkan pajak ekspor,” tambahnya.
Menurutnya, pemerintah juga harus menjelaskan ke masyarakat kenapa harga CPO di dalam negeri (KPBN) sangat rendah yaitu Rp 10.800/kg sedangkan di pasar global tinggi yakni USD 1,7 atau Rp 25.000/kg.
“Hal yang jadi misteri di mata publik ini perlu diurai agar jadi bahan edukasi,” ujarnya.
Akibat murahnya harga CPO dalam negeri, harga TBS petani jatuh hingga di bawah Rp 1.600/kg. Padahal, katanya, biaya produksi TBS mencapai Rp 1.800/kg.
“Petani rugi massal. Bahkan ada yang tidak laku akibat PKS tutup dampak dari tangki timbun CPO penuh akibat belum bisa ekspor,” katanya.
Dia lantas menyinggung harga TBS di Malaysia yang mencapai Rp 5.200/kg.
“Malaysia sama dengan Thailand dan Vietnam. Pajak ekspor diminimalkan demi kemandirian rakyatnya, agar produknya bisa bersaing maksimal di pasar global. Iklim usaha ini mendorong lahirnya pengusaha baru massal. Persentase jumlah pengusaha di sana di atas kita,” bebernya.
“Indonesia punya karakter sebaliknya dari mereka. Pajak dan pungutan ekspor kita dimaksimalkan. Mungkin demi dapat dana untuk bansos dan subsidi. Dampaknya, produk kita kalah bersaing di pasar global. Iklim ini mematikan pelaku usaha, contoh petani sawit saat ini,” tambahnya.
Menurutnya, dana yang dikumpulkan pemerintah dari pungutan ekspor, pajak ekspor, dan biaya lainnya cukup besar.
“Misalnya harga CPO global Rp 25.000/kg dan harga di KPBN Rp 10.800/kg, berarti yang dikutip pemerintah Rp 14.200/kg CPO. Kalau volume ekspor 34 juta ton/tahun, bisa dihitung dapatnya berapa. Lantas bagaimana nasib petani dan pengusaha industri sawit?” tandasnya.
“Saat ini lebih sejahtera jadi TKI Malaysia dibanding punya kebun 10 hektare di Indonesia. Makanya banyak yang jadi TKI. Sementara kebun sawit kita terlantar tidak dipanen, petani yang sudah mandiri jadi miskin dan antre bansos yang berasal dari pajak ekspor,” imbuhnya.
Komentar Via Facebook :