Berita / Feature /
Petani Pelalawan Ketakutan, Lahan Mereka Mau Dieksekusi
Pekanbaru, Elaeis.co - Seluas 1.189 hektare kebun sawit milik sejumlah masyarakat yang tergagung dalam koperasi di Desa Gondai Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan Riau akan ditebangi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau. Warga merasa khawatir dan ketakutan lantaran kebun mereka itu adalah tempat mencari makan.
"Kami trauma, makanya tiap hari kami menggilir 10 orang anggota koperasi untuk patroli, mana tahu alat berat yang dipakai untuk mengeksekusi kebun perusahaan itu, tiba-tiba nongol di kebun kami. Sebab informasi yang kami dengar, ada sekitar 1.189 hektar kebun koperasi yang juga akan ditebangi," ujar Ketua Koperasi Sri Gumala Sakti, Norman Hidayat, Senin (8/2).
Bukan tanpa sebab, pada awal Januari 2020 lalu, DLHK Riau memimpin eksekusi kebun kelapa sawit milik PT Peputra Supra Jaya (PSJ) atas putusan Mahkamah Agung nomor 1087 K/PID.SUS.LH/2018. Dalam pelaksanan eksekusi, pemerintah ditemani pihak PT Nusa Wana Raya.
Sebab, setelah sawit-sawit PT PSJ ditebangi, pihak DLHK langsung menggantinya dengan tanaman akasia untuk diserahkan menjadi lahan PT NWR.
Ternyata, sejak kasus eksekusi itu, petani yang tergabung dalam Koperasi Sri Gumala Sakti dan Koperasi Gondai Bersatu, terus dihantui rasa trauma.
Norman mengatakan, pihaknya mengadukan rasa cemas petani yang khawatir kehilangan kebun sawit sebagai mata pencarian mereka.
"Kami datang mengadu ke Apkasindo lantaran kami dengar kabar bahwa proses eksekusi akan dilanjutkan ke kebun kami, informasi itu kami dapat dari petugas yang sudah masuk ke kebun kami," kata Norman didampingi Ketua Koperasi Gondai Bersatu M. Setiawan.
Gara-gara informasi itu pula kata Norman, petani yang tergabung dalam dua koperasi itu bersepakat untuk menambah jumlah orang yang patroli dari 10 orang setiap hari menjadi 100 orang.
"Ini sudah kami lakukan beberapa hari ini, kami takut pak. Kayaknya bara api yang dulu sempat padam, hidup lagi sekarang," keluh Norman.
Informasi eksekusi lahan petani itu membuat anggota koperasi bingung dan dirundung ketakutan. Mereka takut anak-anaknya bakal putus sekolah, serta tidak dapat menyambung hidup dan membayar hutang di bank.
"Kebun sawit itu satu-satunya sumber keuangan kami. Untuk sekolah anak-anak, bahkan kami utang di bank, dan membayarnya pakai hasil panen sawit itu. Kalau itu ditebangi bagaimana kami menyekolahkan anak-anak dan bayar utang. Apa salah kami sama negara ini," kata Norman.
Norman dan petani lainnya mengaku tidak tahu menahu dengan kasus yang melilit PT Peputra Supra Jaya (PSJ) dengan PT NWR. Sehingga, gara-gara perselisihan kedua perusahaan itu, kebun sawit mereka menjadi tumbal.
"Kami ini cuma petani yang kebetulan bapak angkatnya PT. PSJ. Lahan kebun kami itu punya kami sendiri, bukan lahan PSJ," ketus Norman.
Tak mau anggotanya menjadi korban, tim hukum DPP Apkasindo pun langsung berkirim surat kepada Presiden Jokowi, awal pekan ini.
Di surat yang diteken oleh Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung dan Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino itu, petani meminta perlindungan hukum kepada presiden lantaran kasus PSJ tidak ada kaitannya dengan petani.
Anggota dewan pakar hukum DPP Apkasindo, Samuel Hutasoit, SH, MH, C.L.A menyebut bahwa putusan Mahkamah Agung No. 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 tanggal 17 Desember 2018 itu hanya berkaitan dengan lahan milik PSJ, bukan termasuk lahan masyarakat yang tergabung dalam koperasi.
"Jadi menurut kami, segala upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang bermaksud menebangi pohon kelapa sawit milik masyarakat dengan tameng Putusan Mahkamah Agung itu, adalah tindakan yang keliru dan melawan hukum," tegas Samuel.
Sebab PT PSJ dituding membangun kebun sawit tanpa izin. Sementara petani yang tergabung dalam koperasi itu, masing-masing hanya memiliki 2 hektar.
"Mereka tidak perlu mengurus izin, aturan itu ada di UU 39 tahun 2014 tentang Perkebunan," ujar magister hukum lulusan Universitas Indonesia ini.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau, Ma'mun Murod saat dikonfirmasi belum merespon. Pesan yang dikirim juga tidak berbalas.
Begitu juga dengan Direktur Utama PT NWR, Muller Tampubolon. Dia tidak menjawab telfon wartawan. Muller juga sebagai Direktur PT Sumatera Riang Lestari (SRL) yang bergerak di bidang akasia. Kedua perusahaan yang dipimpinnya itu menyuplai kayu akasia ke PT Riau Andalan Pulp and Paper anak usaha APRIL Group.
Gubernur Riau Syamsuar saat dikonfirmasi juga belum menjawab. Pesan WhatsApp yang dikirim juga belum berbalas.
Seperti diketahui, salah seorang warga dari Pelalawan mendadak membuat heboh saat kunjungan presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim, Kabupaten Siak, Riau Jumat 21 Februari 2020 lalu.
Ibu ini dengan beraninya menyampaikan persoalan yang terjadi di desanya. Yakni persoalan eksekusi lahan di Desa Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Warga Desa Gondai ini berdiri tepat di samping Jokowi dan menyampaikan kejadian di desanya dengan pengeras suara. Sontak, semua yang hadir di acara itu mendengar keluhan warga Gondai ini.
"Lahan kami sekarang sedang dieksekusi oleh DLHK Pak Jokowi," kata Ibu dengan suara berapi-api.
Ibu ini membuat seluruh undangan tercengang. Termasuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Gubernur Riau Syamsuar dan Kapolda Riau Irjen Agung Setia Imam Effendi.
"Tolong kami Pak Jokowi. Alat berat milik PT NWR sekarang ada di lahan kami dan lahan kami dieksekusi," ujarnya.
Mendengar persoalan warga tersebut Jokowi merespons cepat. Dia meminta kepada Kapolda Riau dan Gubernur Riau untuk menyelesaikan persoalan ini. Jika tidak selesai, Jokowi akan menurunkan tim dari pusat.
"Pak Gubernur, Pak Kapolda tolong ini dicek ke lapangan. Kalau tidak selesai, saya akan turunkan tim dari Jakarta," kata Jokowi merespons positif keluhan warga Gondai tersebut.
Untuk diketahui, permasalahan ibu tersebut berawal dari eksekusi lahan sawit milik petani dan PT Peputra Supra Jaya (PSJ) seluas 3,323 hektare di Desa Gondai Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan.
Eksekusi itu merupakan pelaksanaan dari putusan Mahkamah Agung MA Nomor 1087/Pid.Sus.LH/2018 tanggal 17 Desember 2018. Total 3.323 hektare hamparan sawit yang menjadi target eksekusi. Putusan itu ditembuskan ke PT NWR.
Kebun tersebut milik kelompok petani yang tergabung dalam Koperasi Gondai Bersatu dan Koperasi Sri Gumala Sakti. Sistemnya berupa pola plasma atau mitra antara PT PSJ dengan ratusan petani.
Perusahaan sawit itu sedang melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahmakah Agung, atas putusan kasasi terkait eksekusi tersebut. Dalam PK disebutkan, jika upaya hukum itu dikabulkan maka Pemprov Riau wajib membayar kerugian Rp12,4 triliun.
Saat eksekusi berjalan, bentrokan tak terelakkan di lokasi lahan milik masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani di Desa Godai, Selasa 4 Februari 2020. Eksekusi itu dilakukan kejaksaan bersama pengamanan kepolisian dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pemprov Riau serta PT Nusa Wana Raya.
"Iya benar ada bentrokan di lokasi. Ada tiga orang masyarakat terluka akibat lemparan batu," ujar Kuasa Hukum Koperasi Gondai Bersatu, Asep Ruhiat, kala itu.
Asep menyebutkan, dia mendapat informasi dari masyarakat, bahwa peristiwa itu terjadi saat sejumlah alat berat milik PT NWR mencoba menerobos masuk ke lahan sawit plasma milik masyarakat dengan dikawal aparat polisi.
Sejumlah warga yang mengadang kemudian dilempari batu oleh pihak tak dikenal hingga melukai beberapa warga. Kerusuhan akhirnya tidak terelakkan di lokasi tanah yang telah ditanami tanaman sumber kehidupan masyarakat itu.
"Peristiwa ini sangat kita sayangkan, padahal kemarin baru saja legislator DPR RI Pak Arteria Dahlan datang ke lokasi untuk meminta dihentikan eksekusi oleh DLHK Riau dan PT NWR," kata Asep.
Asep menyebutkan, petani berharap belas kasih dari pemerintah. Karena tak hampir 700 orang petani akan kehilangan mata pencaharian.
"Sebab, masing-masing kepala keluarga yang memiliki kebun sawit 2 hektare berpola plasma akan ditebangi dan diganti dengan akasia," ujar Asep.
Asep mengaku menghormati keputusan Mahkamah Agung RI No 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 tertanggal 17 Desember 2018 terhadap PT Peputra Supra Jaya, untuk dieksekusi oleh negara bersama PT NWR.
Namun dia juga meminta agar pemerintah mempertimbangkan bunyi pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut: ayat (1) berbunyi; Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Ayat (2), cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
"Lalu dalam ayat (3) menyebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di sini ditegaskan demi kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran perusahaan raksasa," tegasnya.
Kemudian Asep melanjutkan, dalam ayat (4), perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
"Dalam Pasal 33 ayat (3), UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang ataupun seorang. Dengan kata lain monopoli, tidak dapat dibenarkan. Tapi faktanya, saat ini terjadi monopoli dalam praktik-praktik usaha, bisnis dan investasi dalam bidang pengelolaan sumber daya alam sedikit banyak bertentangan dengan prinsip pasal 33," jelasnya.
Nasib para petani di Desa Pangkalan Gondai, Kecamatan Langgam, Pelalawan, Riau, masih harus menunggu belas kasih pemerintah setelah eksekusi lahan perkebunan mereka terus berlanjut hingga mengancam masa depan anak cucu.
Komentar Via Facebook :