https://www.elaeis.co

Berita / Bisnis /

Petani Sawit Punya 21 Juta 'Sumur' Bahan Baku EBT

Petani Sawit Punya 21 Juta

Ketua Umum DPP Apkasindo, DR (c) Gulat Medali Emas Manurung (dua dari kiri) saat ikut dalam dialog nasional. Foto: Ist


Jakarta, elaeis.co - Tekad bahwa petani kelapa sawit musti naik kelas, langsung dinampakkan oleh Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), DR (c) Gulat Medali Emas Manurung, pada Dialog Nasional bertemakan; Sustainable Energy: Green and Clean, di Jakarta, kemarin.    

Dialog yang dihadiri sederet pembicara seperti; Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati, Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto dan Wakil Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo itu sebetulnya berlangsung dua hari, hari pertama langsung dibuka oleh Presiden Jokowi.

Keinginan naik kelas tadi dimulai Gulat dengan meminta supaya petani kelapa sawit terlibat dalam rantai pasok bioenergi. 

Saat ini kata lelaki 48 tahun ini, produksi Crude Palm Oil (CPO) petani kelapa sawit mencapai 20,8 juta ton. 

"Kami minta 20% dari besaran itu menjadi pasokan untuk green energy. Jadi kami enggak lagi hanya sekadar tukang dodos, tukang angkut, atau tukang antar buah ke pabrik," pinta ayah dua anak ini saat didapuk menjadi penanggap di hari kedua acara itu. 

Jadi ke depan kata Gulat, petani sudah musti punya pabrik sendiri untuk memasok bahan baku green energy tadi.

Bagi Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini, permintaan itu masih pada level sangat sederhana dibanding peran besar yang sudah dilakukan oleh petani kelapa sawit selama ini.  

"Petani kelapa sawit itu ibarat sumur bor penyedot minyak bumi pada energi fosil. Kalau target Menteri ESDM 436 sumur, petani justru sudah punya 21 juta sumur penghasil Energi Baru Terbarukan (EBT). Ini potensi yang sangat luar biasa bagi bangsa ini," tegas Gulat.

Gulat kemudian mengurai perbedaan mendasar EBT dan energi fosil (konvensional) seperti migas dan batubara. 

"EBT dari sumber daya alam hakikatnya adalah menanam (reversible), sementara energi fosil hanya memanen (irreversible) atau menambang. Memanen ini ada batas waktunya. Setelah habis, enggak bisa diperbaharui lagi," Gulat mengurai.  

Belakangan, sawit kata Gulat sudah menjadi komoditi terbaik di Negeri ini. Selain bisa menopang EBT tadi, sawit juga menjadi solusi jitu perekonomian Indonesia. 

"Anugerah Tuhan yang sangat luar biasa ini musti kita syukuri. Petani sangat mengapresiasi Pemerintahan Jokowi yang mengakui peran sawit dalam peningkatan ekspor dan penyelamatan ekonomi Nasional itu," katanya.   

Hanya saja kata Gulat, meski petani kelapa sawit sangat senang UU Cipta Kerja (UUCK) lahir untuk menjamin investasi dan lapangan kerja, tapi petani kelapa sawit justru deg-degan oleh Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sektor kehutanan yang menjadi turunan UUCK itu. 

Apkasindo kata Gulat sangat berterimakasih kepada Siti Nurbaya yang sudah memberikan kesempatan kepada Apkasindo untuk berdialog dengan Sekjen KLHK. 

Dalam pertemuan itu, usulan petani terkait RPP kehutanan pun diterima dan menjadi pokok bahasan. Hanya saja kata Gulat, ada beberapa point yang masih sangat mengkuatirkan kami petani. 

"Dibatasinya luasan kebun petani dan petani wajib tinggal di kebun, menjadi ganjalan. Enggak bisa dipungkiri kalau dalam pembahasan RPP itu, masih kental terlihat egosentral lintas kementerian. Ini berbahaya, idealnya mereka paduserasi, sebab Presiden Jokowi mengamanahkan begitu," ujarnya. 

Gulat sependapat dengan Siti Nurbaya bahwa isu perubahan iklim harus disikapi dengan hati-hati. "Tapi jangan gara-gara perubahan iklim itu pula, masyarakat dan perusahaan jadi korban, kami sangat tidak setuju yang semacam ini," tegasnya. 

Mendengar permintaan Gulat soal peran petani kelapa sawit tadi, Ketua Komisi VII, Sugeng Suparwoto, spontan sepakat. 

Dia langsung menyatakan akan memperjuangkan petani sebagai pemasok bahan baku EBT dalam Regulasi. "Ini sangat masuk akal, memasukkan petani sebagai bagian dari hilirisasi di EBT adalah bagian dari capaian SDG's, ini sangat penting," katanya. 

Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Berkelanjutan, Erna Witular, juga sepaham dengan Sugeng. "Petani adalah bagian inti dari konsep SDG's, harus sejalan dengan corporate dan pemerintah harus memastikan itu," katanya.


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :