https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Petani Tak Punya Posisi Tawar

Petani Tak Punya Posisi Tawar

Sekertaris Jenderal DPP Apkasindo Perjuangan, Sulaiman H Andi Loeloe. (Istimewa/Elaeis)


Jakarta, elaeis.co - Penurunan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang dinilai sewenang-wenang oleh petani terjadi seja beberapa lalu di sejumlah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) se-Nusantara. Sejumlah pihak menduga ini dampak dari larangan ekspor bahan baku dan minyak goreng oleh pemerintah yang diberlakukan pada 28 April 2022 kemarin.

Namun tidak sedikit pula PKS yang berkilah lantaran menghadapi liburan idul Fitri yang sudah di depan mata. Namun dari kaca mata Sekertaris Jenderal DPP Apkasindo Perjuangan Sulaiman H Andi Loeloe alasan tersebut bukanlah alasan sebenarnya.

Ia menilai PKS justru memanfaatkan keadaan yang berpatokan pada pelarangan ekspor yang diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.

"PKS itu milik pengusaha, otomatis mereka akan memperhitungkan bahkan memprediksi harga penjualan produksinya yakni CPO," ujarnya kepada elaeis.co, Sabtu (30/4).

Dirincinya, selama ini penetapan harga TBS mengacu pada harga CPO internasional yang bisa di atas angka Rp15.000-Rp17.000, sementara di dalam negeri harga CPO hanya berkisar Rp9.300, maka mereka pasti akan menurunkan harga beli TBS kepada petani.

"Kan begitu yang menjadi pembanding dalam penetapan harga TBS. Saya rasa mereka juga melihat hal itu," jelasnya.

Selanjutnya, PKS juga pasti mengantisipasi resiko kerugian. Pasalnya bahan baku yang mereka olah yakni TBS dari petani tida langsung dapat dijual hati itu juga. Namun diolah kembali dan baru dijual beberapa waktu setelahnya. Bisa jadi satu pekan berikutnya. Hal ini tentu membuat PKS memutar otak agar dapat menghindari kerugian. Otomatis pilihan pertama adalah menurunkan harga TBS petani.

"Mereka sudah memprediksi. Kalau petani tidak bisa apa-apa. Kita tidak punya nilai tawar. Nah inilah yang kita khawatirkan jangan sampai terjadi. Kalau terjadi maka hancur petani swadaya yang sebanyak 41% di Indonesia," jelasnya.

Dari data yang diperolehnya jumlah petani kelapa sawit di Indonesia mencapai 2,6 juta kepala keluarga (KK). Sementara total perkebunan kelapa sawit di Indonesia 16,8 juta hektar, 41 % atau skala 6,8 Juta Hektar adalah perkebunan rakyat.

"Kami juga pahami maksud dari pemerintah menyetop ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, kemungkinan akan memberi sanksi jera kepada oligarki, tetapi di dalam perkebunan tersebut ada 41% perkebunan rakyat. Maka bila ekspor tidak jalan ada kemungkinan TBS petani tidak terbeli oleh PKS," terangnya.

Sepengetahuan pria yang berdomisili di bilangan Sulawesi Selatan itu, kebutuhan CPO dalam negeri hanya berkisar 37% atau 18 juta ton. Sementara total produksi mencapai 48 juta ton. Jika kebijakan itu benar mengarah pada CPO dan dilakukan maka akan terjadi penumpukan.

"Mau dikemanakan produksi CPO itu. Ini malah akan berdampak pada TBS Petani. Dipastikan petani akan menjerit," tegasnya.

Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih fokus mensinergikan antara kegiatan, pengawasan, pencegahan dan penegakan hukum. Dari data alokasi bahan baku selama  ini 18  juta ton, terdiri dari minyak goreng 8,5 juta ton, biodisel 7,4 juta ton dan Oleochemcal 2 juta Ton. 

"Jadi sebetulnya yang harus dilakukan pemerintah DMO 20 % ditegakkan dan HED minyak curah di berlakukan, bukan secara brutal larangan serta merta," paparnya.

Komentar Via Facebook :