Berita / Nusantara /
Pinjam Boleh, Denda Bayar Dulu
Jakarta, elaeis.co - Setelah dianggap mengangkangi hukum lantaran rakyat diwajibkan membayar denda pada calon kawasan hutan, dua Peraturan Pemerintah (PP) turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) tentang lahan dan hutan itu ternyata tidak serta merta membikin rakyat berhak atas tanah yang dendanya sudah dibayar.
Pakar Hukum Kehutanan, Dr.Sadino menyebut bahwa denda yang dibayarkan oleh rakyat terkait PP 24 tahun 2021, tidak otomatis menjadi syarat bagi rakyat untuk memiliki lahan garapannya yang disebut berada pada calon kawasan hutan.
Disebut calon kawasan hutan lantaran yang semacam ini belum memiliki kekuatan hukum tetap. Putusan MK 45 tahun 2011 telah membatalkan penunjukan sebagai salah satu bukti sahnya kawasan hutan.
Tapi MK menyebut bahwa kawasan hutan adalah kawasan yang sudah dikukuhkan. Ini berarti kawasan itu telah melewati tahapan penunjukan, pemetaan, penataan batas, dan penetapan.
"Dalam PP 24 itu, rakyat yang tanahnya lebih dari 5 hektar dan kebetulan ditanami kelapa sawit, kalau kebun itu enggak punya izin lokasi dan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), maka lahan itu enggak bisa jadi hak milik meski dendanya sudah dibayar," kata lelaki yang jadi ahli hukum kehutanan pada persidangan Mahkamah Konstitusi dengan pemohon 5 Bupati dan 1 orang swasta di Kalimantan Tengah (Kalteng) ini seperti lansir Gatra.com, Minggu (28/1).
Yang didapat oleh rakyat kata lelaki 55 tahun ini hanya persetujuan penggunaan kawasan hutan. Kalau lahan itu berada di kawasan hutan produksi, rakyat diberi waktu selama 25 tahun.
"Namun jika lahan itu di Kawasan Hutan Lindung atau Kawasan Hutan Konservasi, waktu yang diberikan kepada rakyat lebih singkat, 15 tahun," ujarnya.
Jadi, kalau legalitas tanah enggak ada, ini berarti rakyat enggak bisa ikut Peremajaan sawit Rakyat (PSR), dan bahkan enggak bisa dapat sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Sementara kata lelaki kelahiran Klaten Jawa Tengah ini, denda yang musti dibayar oleh rakyat, jumlahnya tidak sedikit."Ada tiga varian tutupan hutan yang dijadikan acuan dalam hitungan denda itu; 60%, 40% dan 20%," Sadino merinci.
Kalau misalnya dalam hitungan denda ditetapkan faktor tutupan hutannya (kondisi awal lahan saat rakyat pertama kali mengelola lahan) adalah 20%, maka denda perhektarnya itu bisa mencapai jutaan rupiah dan bahkan puluhan juta rupiah perhektar.
"Misalkan denda perhektar Rp5 juta, rakyat punya lahan 20 hektar, maka denda yang musti dibayarkan adalah Rp100 juta," Sadino menyimpulkan.
Yang membikin Sadino miris, semestinya denda wajib itu tak boleh ada lantaran rakyat berada pada calon kawasan hutan. "Kalau ini dipaksakan, pemalakan namanya. Sebab yang salah bukan rakyat. Kalau dari dulu hutannya ditetapkan dan dijaga, enggak akan ada rakyat yang berani mengambil," ujarnya.
Dan, kalau dasar yang digunakan masih rezim penunjukan kawasan hutan kata Sadino, maka PP itu tidak bisa digunakan.
"Penunjukan masa lalu itu juga pemaksaan atas nama Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang saat ini berdampak pada timbulnya sengketa lahan di masyarakat. Sudah ada perkembangan hukum yang dinamis, tapi kok lagi-lagi masih menggunakan hukum penunjukan. Harusnya berdasarkan penetapan kawasan hutan terakhir," Sadino menegaskan.
Lantaran PP tadi tak bisa digunakan, maka tak salah kata Sadino, rakyat mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Agung atas PP itu.
"Dan sangat memungkinkan PP itu dicabut oleh Presiden Jokowi lantaran tidak sesuai dengan cita-cita UUCK," katanya.
Komentar Via Facebook :