Berita / Nusantara /
Program B30 Bagus, Tapi Bukan yang Paling Paten
Medan, Elaeis.co - Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menyebutkan, sepanjang semester I tahun 2021 telah tersalurkan biodiesel sebanyak 4,3 juta kiloliter atau 46,7% dari target penyaluran tahun ini.
Pernyataan yang dilansir di situs Kementerian ESDM itu juga menyebutkan bahwa program mandatori biodiesel 30 (B30) telah memberikan manfaat ekonomi setara Rp 29,9 triliun. Angka tersebut terdiri dari penghematan devisa sebesar Rp 24,6 triliun dan nilai tambah dari konversi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) menjadi biodiesel sebesar Rp 5,3 triliun.
Selain itu, implementasi biodiesel juga diklaim telah berhasil mengurangi emisi CO2 sebesar 11,4 juta ton.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Dr Ir Tungkot Sipayung, mengakui program B30 yang dijalankan pemerintah telah mempengaruhi stok dan harga CPO di pasar global. Naiknya harga CPO juga ikut mendongkrak harga tandan buah segar (TBS) petani sawit.
Meski begitu, menurutnya, program B30 belum memberikan yang terbaik buat petani sawit. “Saya mendukung program B30. Namun kebijakan B30 tidak memberikan dampak langsung bagi petani,” katanya, kepada Elaeis.co, Selasa (27/7).
Menurutnya, pembangunan pabrik industry vegetable oil (IVO) yang bisa menghasilkan bensin dan avtur lebih mendatangkan dampak langsung bagi petani sawit. Dia lantas mencontohkan pabrik IVO yang dibangun dengan kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan, dengan Institut Teknologi Bandung.
Pabrik tersebut, katanya, dibangun untuk memproduksi bahan bakar dengan bahan baku sawit. Itu sebabnya kehadiran pabrik tersebut diproyeksikan bisa mendongkrak harga kelapa sawit petani.
“Bagi saya, yang terbaik dan paling paten itu buat petani sawit adalah yang diusulkan dalam proyek strategis nasional di Muba itu,” sebutnya.
Berbeda dengan pabrik kelapa sawit (PKS) pada umumnya, pabrik IVO tidak mempermasalahkan kandungan asam lemak bebas (ALB) yang ada di TBS sawit petani. “Itu perbedaan yang sangat mendasar. PKS biasanya bikin syarat maksimum ALB tiga persen, kalau yang di Muba itu enggak pernah mempermasalahkan ALB-nya,” jelasnya.
Bila TBS terlalu matang, maka ALB-nya naik sehingga harganya lebih murah atau bahkan ditolak sama sekali oleh PKS. “Jarang sekali petani sawit di Indonesia yang menghasilkan TBS dengan ALB maksimum tiga persen, apalagi petani swadaya,” ungkapnya.
“Pabrik IVO di Muba itu tak masalah ALB-nya tinggi. Malah semakin matang semakin bagus, karena kandungan minyaknya makin tinggi,” tambahnya.
Itu sebabnya Tungkot berharap pemerintah mempermudah pendirian pabrik IVO di sentra-sentra sawit, apalagi pembangunan PKS IVO sudah dimasukan ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 100/2020 tentang PSN.
“Petani sawit harus memanfaatkan peluang agar proyek PKS IVO ini bisa direalisasikan di banyak provinsi sentra sawit. Petani harus punya kelembagaan, buatlah poktan, gapoktan, atau koperasi. Kalau luasan lahan sawit petani dalam satu kelompok sudah mencapai 2.500 hingga 3.000 hektar, kelak bisa mengusulkan pembangunan PKS IVO yang didanai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS),” tukasnya.
Komentar Via Facebook :