Berita / Internasional /
Publikasi 'Murahan' Ala Reuters
Jakarta, elaeis.co - Tak berlebihan sebenarnya bila Robert Hii, pengasuh cspo-watch.com yang berbasis di Malaysia itu, kesal atas tulisan Adi Renaldi, orang Indonesia, yang menjadi koresponden wilayah Asia Tenggara untuk context.news. Media global yang diasuh oleh Thomson Reuters Foundation.
Sebab sekelas jurnalis asia tenggara, Adi dianggap tidak cakap dalam mengurai data dan fakta. Sudahlah begitu, tendensius pula.
Yang lebih parah lagi justru context sendiri. Media kaliber dunia, tapi malah menelan bulat-bulat apa yang disodorkan Adi.
Sebelum berkomunikasi langsung dengan Robert Hii melalui platform X, elaeis.co membaca dulu berita yang ditulis oleh Adi tadi yang diberi judul; Bagaimana Industri Minyak Sawit Indonesia Memperparah Krisis Iklim?
Di paragraf 5 dalam tulisan yang diampu oleh editor Ayla Jean Yackley itu, Adi menyebut bahwa luas kebun kelapa sawit Indonesia mencapai 42,7 juta hektar. Lebih tinggi ketimbang tahun 2019 yang masih 41,5 juta hektar. Dia mengatakan angka itu bersumber dari Badan Informasi Geospasial (BIG) pemerintah pada bulan ini.
Sementara data yang ada menyebutkan bahwa hasil pemutakhiran peta tutupan kelapa sawit nasional yang dilakukan oleh BIG bersama Kementerian Pertanian, luas tutupan kebun kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2023 adalah 17,3 juta hektar. Lantas dari mana dan dimana kebun kelapa sawit yang 25,4 juta hektar lagi?
Lalu di paragraf 9, Adi menulis pula bahwa para penanam kelapa sawit percaya bahwa tanah di lahan basah ini menghasilkan lebih banyak tanaman dan mengalirkannya melalui kanal buatan manusia sehingga penanaman dapat dilakukan. Sebuah studi oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources pada tahun 2021 menunjukkan bahwa pengeringan lahan gambut di seluruh dunia melepaskan 1,9 gigaton karbon dioksida setara per tahun.
Makna dari tulisan paragraf ini sengaja digiring seolah-olah pengeringan gambut adalah untuk sawit. Adi tidak mengimbanginya dengan hasil penelitian Robert Henson, ahli ecofisiologi asal Amerika yang menemukan bahwa satu hektar kebun sawit mampu menyerap 64,5 ton emisi karbon dan menghasilkan 18,7 ton oksigen per tahun.
Kalau kemudian hasil penelitian Robert Henson ini diambil sebagai acuan hitungan serapan emisi karbon oleh sawit, maka dalam setahun kebun kelapa sawit di Indonesia telah mampu menyerap emisi karbon 17.300.000 x 64,5 = 1.115.850.000 ton atau setara dengan 1,115 gigaton.
Di paragraf 15, Adi menulis; para peneliti mengklaim minyak kelapa sawit tidak berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan. Tingkat kemiskinan tetap tinggi di wilayah-wilayah yang kaya minyak kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan, di mana masyarakat menghadapi kerawanan pangan setelah lahan pertanian ditebangi untuk memberi jalan bagi pohon kelapa sawit.
Ada baiknya ada jalan-jalan ke Riau. Provinsi dengan luas kebun kelapa sawit terbesar di Indonesia ini, mencapai 4,02 juta hektar. Di provinsi ini, ada lebih dari 50 kampung yang dulunya 'tempat jin buang anak', gara-gara sawit, kini telah berubah menjadi kota.
Semua hal di atas baru segelintir dari apa yang menjadi fakta namun tidak menjadi penting bagi Adi. Yang pasti, oleh kesalahan angka luas kebun sawit tadi, semua isi laporan Adi ini menjadi sangat diragukan.
Atas persetujuan Robert Hii, elaeis.co kemudian mengutip semua tanggapannya atas berita Adi itu. Tanggapan dengan judul Reuters cheap shot deals Indonesian palm oil a black eye itu selengkapnya begini;
Reuters, platform berita global, baru saja mencoreng nama kelapa sawit Indonesia dengan opini yang hanya dapat ditafsirkan sebagai sangat berprasangka buruk.
Ditulis oleh Koresponden Asia Tenggara untuk Thomson Reuters Foundation, Adi Renaldi, artikel Reuters berjudul “Bagaimana industri kelapa sawit Indonesia memicu krisis iklim?” terdengar seperti sesuatu yang disusun dengan tergesa-gesa untuk memenuhi kuota penulisan.
Hal-hal yang dibicarakannya cukup umum dalam opini daring tentang kelapa sawit. Artikel itu akan dianggap sebagai “anti kelapa sawit ” atau “kampanye hitam” jika tidak dipublikasikan di situs web milik Reuters.
Seperti yang dipublikasikan di situs web Reuters Context dengan istilah bermerek dagang Know Better. Do Better, opini Adi Renaldi sebagaimana disetujui oleh editor Ayla Jean Yackley, harus dibaca oleh industri minyak sawit Indonesia dengan penuh perhatian karena Reuters bukanlah LSM asing yang dapat dibeli dengan harga murah.
Context menampilkan dirinya sebagai:
Context adalah platform media yang dipersembahkan kepada Anda oleh Thomson Reuters Foundation. Tujuan kami adalah untuk menyediakan berita dan analisis yang mengontekstualisasikan bagaimana isu dan peristiwa penting memengaruhi orang biasa, masyarakat, dan lingkungan. Context didukung oleh pelaporan asli dari Thomson Reuters Foundation dan berpusat pada tiga isu paling signifikan dan saling bergantung di zaman kita: perubahan iklim, dampak teknologi pada masyarakat, dan ekonomi inklusif.
Tim jurnalis kami yang telah memenangkan penghargaan memiliki pengalaman puluhan tahun dalam membuat laporan dari lapangan di lebih dari 70 negara. Kami mematuhi Prinsip-prinsip Thomson Reuters Trust tentang integritas, independensi, dan bebas dari bias.
Tulisan Adi Renaldi jelas-jelas melanggar Prinsip-prinsip Thomson Reuters Trust tentang integritas, independensi, dan bebas dari bias karena tulisan tersebut tidak bebas dari bias atau terbentuk dari pemikiran yang independen.
Untuk mendukung konteksnya tentang minyak kelapa sawit Indonesia, Adi melontarkan serangkaian serangan cepat terhadap industri minyak kelapa sawit Indonesia dengan klaim seperti:
Namun, para pemerhati lingkungan khawatir melonjaknya permintaan akan produk serbaguna ini dapat mendorong penggundulan hutan massal di Indonesia, rumah bagi hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, dan memperburuk krisis iklim global.
Ketika perusahaan dan pemilik lahan kecil mengganti habitat alami dengan perkebunan kelapa sawit, para aktivis dan peneliti memperingatkan bahwa sejumlah besar karbon yang memanaskan planet dilepaskan ke atmosfer.
Indonesia kehilangan 721.000 hektar hutan primer, atau hutan tua, dalam dua dekade terakhir – setara dengan 221 metrik ton emisi karbon dioksida, menurut Global Forest Watch.
Hingga orangutan dan biodiesel berbasis kelapa sawit
Sumatra dan Kalimantan, rumah bagi orangutan yang terancam punah dan spesies endemik lainnya, telah kehilangan 36% dan 45% hutan tropis mereka, masing-masing, karena ekspansi kelapa sawit, menurut Nusantara Atlas, sebuah lembaga nirlaba yang melacak penggundulan hutan.
Minyak kelapa sawit merupakan bahan utama biodiesel, bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan dan digunakan dalam transportasi. Namun, semakin banyak penelitian menunjukkan bahwa biofuel dari minyak nabati seperti kelapa sawit sebenarnya mengeluarkan lebih banyak karbon daripada bahan bakar fosil, terutama karena perubahan penggunaan lahan untuk menanam tanaman tersebut.
Mengutip Transport & Environment, platform media dengan bayaran terbaik di Eropa untuk kampanye anti-minyak sawit, Reuters menunjukkan bahwa mereka kurang mendapat informasi tentang apa sebenarnya arti biofuel berbasis kelapa sawit bagi Indonesia.
Namun, upaya paling keterlaluan oleh Reuters Context untuk menghitamkan minyak sawit Indonesia adalah mengutip makalah ini yang menyebutkan bahwa budidaya kelapa sawit di Indonesia tidak memiliki manfaat sosial.
Para peneliti mengklaim bahwa minyak sawit tidak berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan. Tingkat kemiskinan tetap tinggi di wilayah-wilayah yang kaya akan minyak sawit di Sumatera dan Kalimantan, di mana masyarakat menghadapi kerawanan pangan setelah lahan pertanian ditebang untuk memberi jalan bagi pohon kelapa sawit.
Mengutip satu laporan oleh orang-orang yang terkait dengan universitas asing dengan tambahan bahasa Indonesia sama sekali tidak membahas manfaat sosial-ekonomi dalam pendakian Indonesia untuk menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia.
Pandangan yang terinformasi tentang biofuel berbasis kelapa sawit oleh Palm Oil Analytics seharusnya dianggap oleh Reuters sebagai sesuatu yang dapat menepis pendapat Adi Renaldi.
Masyarakat Indonesia yang jumlahnya sangat besar membutuhkan pasokan bahan bakar yang besar untuk mendukung berbagai kegiatan ekonomi, seperti transportasi harian, pengiriman, pemrosesan, dan lainnya. Selama ini, permintaan tersebut dipenuhi dengan menggunakan bahan bakar fosil yang berasal dari batu bara. Namun, sejak tahun 2008, pemerintah secara resmi telah mengatur penggunaan sumber energi alternatif melalui penerbitan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Perdagangan Bahan Bakar Minyak Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Alternatif.
Edi Suhardi , Ketua Bidang Penggalangan Minyak Sawit Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menepis artikel tersebut sebagai kritik yang mencerminkan kurangnya pengetahuan Reuters tentang isu minyak kelapa sawit dan deforestasi di Indonesia.
“ Di Indonesia, menurut UU 41/1999 hutan didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dilestarikan sebagai hutan tetap.
Undang-undang Indonesia menyatakan bahwa budidaya kelapa sawit baru hanya dapat dikembangkan pada wilayah non-kehutanan atau Area Untuk Tujuan Lain (APL) di luar kawasan hutan negara yang ditunjuk. Dengan demikian, deforestasi tidak berlaku untuk pengembangan kelapa sawit baru di area APL.
Laporan LSM yang dirujuk penulis menggunakan peta tutupan lahan hutan berdasarkan analisis mereka sendiri. Peta ini tidak dikonfirmasi oleh pemerintah Indonesia atau pemangku kepentingan lainnya.
Menggunakan peta tutupan lahan ini untuk mengidentifikasi hutan dan penggundulan hutan merupakan kesalahan dan kekeliruan. Lahan terdegradasi yang ditinggalkan selama beberapa tahun di negara tropis seperti Indonesia dengan curah hujan tinggi dan tanah subur dengan cepat dipulihkan oleh vegetasi untuk mencapai jenis tutupan lahan yang dapat tampak pada citra satelit sebagai "hutan." Oleh karena itu, adalah naif untuk mengaitkan setiap perubahan tutupan lahan tanpa kerja lapangan yang dilakukan.
Artikel tersebut juga melemahkan kontribusi positif minyak sawit dalam membantu Indonesia mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Minyak sawit sekarang memasok lebih dari 40 persen pasar minyak sayur global. Hasil panennya lebih dari 3 ton minyak per hektar sangat ekstrem dibandingkan dengan 0,34 ton untuk minyak zaitun, 0,26 ton untuk minyak kelapa dan 0,7 ton untuk minyak bunga matahari.
Oleh karena itu, untuk memenuhi pertumbuhan populasi dan permintaan tanaman minyak, beralih ke alternatif non-kelapa sawit akan menyebabkan lebih banyak deforestasi sebagaimana dikatakan oleh Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam pada tahun 2018.
Mengenai klaim Reuters bahwa minyak kelapa sawit tidak berkontribusi pada kesejahteraan orang-orang yang tinggal di sekitar perkebunan, Reuters seharusnya tahu bahwa di Indonesia, 6,8 juta hektar atau 41 persen perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh petani kecil. Bukankah mereka ini orang-orang yang tinggal di sekitar perkebunan?
Industri minyak kelapa sawit Indonesia selanjutnya menyediakan pekerjaan bagi tujuh belas juta orang mulai dari pertanian hingga pemrosesan dan pekerjaan kantor.
Artikel tersebut akan kurang merugikan semua orang Indonesia yang diuntungkan oleh industri minyak kelapa sawit jika diimbangi dengan fakta-fakta dari Indonesia. Jelas bahwa Reuters tidak mencoba memverifikasi klaim yang dibuatnya terhadap minyak kelapa sawit Indonesia atau repot-repot memeriksa fakta apa yang dikatakannya.
Indonesia tidak dapat bertanggung jawab atas perubahan iklim
Kemarahan yang diungkapkan oleh GAPKI terhadap artikel Reuters di Context dapat dimengerti. Indonesia dapat memilih untuk melanjutkan penggunaan bahan bakar fosil untuk menggerakkan ekonominya.
Namun, dalam komitmen nasionalnya untuk mengurangi emisi, Indonesia mengandalkan biofuel dari minyak kelapa sawit untuk mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil. Selain minyak kelapa sawit, Indonesia memiliki aspirasi untuk memasukkan etanol dari tebu untuk menambah sumber biofuel baru.
Menurut laporan Reuters ini , Presiden Joko Widodo yang akan lengser bermaksud menanam tebu seluas 700.000 hektar untuk meningkatkan produksi gula, yang menurut Nicke dapat membantu menghasilkan 1,2 juta kiloliter etanol untuk bahan bakar.
Apakah ini akan memancing pendapat lain dari Reuters tentang bagaimana Indonesia menggunakan lahan basah untuk pertanian?
Orang harus bergidik melihat betapa kerasnya Adi Renaldi mencoba menggambarkan minyak kelapa sawit Indonesia sebagai sesuatu yang buruk bagi perubahan iklim.
“Hilangnya hutan penyimpan karbon diperparah dengan konversi lahan gambut menjadi perkebunan. Indonesia adalah rumah bagi lebih dari sepertiga lahan gambut tropis dunia, jenis lahan basah yang merupakan penyimpan karbon berbasis daratan terbesar di dunia. ”
Itu benar sekali, Adi. Benar juga bahwa:
-Lebih dari 50% lahan basah padang rumput di Amerika Utara telah direklamasi untuk pengembangan pertanian, yang mengakibatkan hilangnya rata-rata 10,1 Mg/ha SOC pada lebih dari 16 juta ha lahan basah https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0301479722025920
Lahan gambut, yang meliputi wilayah Uni Eropa seukuran Jerman, sangat terdampak oleh aktivitas manusia, dan sangat kurang terlindungi. Lebih dari separuhnya telah terdegradasi oleh drainase, sehingga lahan tersebut dapat digunakan untuk pertanian, kehutanan, dan konstruksi, atau ditambang untuk gambut untuk digunakan dalam hortikultura atau sebagai bahan bakar. Seabad yang lalu, sepertiga wilayah Finlandia ditutupi lahan gambut, tetapi kini telah kehilangan lebih dari setengahnya akibat drainase untuk kehutanan dan penambangan terbuka untuk bahan bakar. https://earth.org/interview/sonia-mena/
Inti masalahnya di sini adalah Reuters tidak dapat menganggap pelestarian hutan Indonesia sebagai hal yang penting untuk mengatasi perubahan iklim. Tidak demikian halnya ketika krisis iklim saat ini disebabkan oleh negara dan komoditas lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan minyak sawit Indonesia.
Baik minyak sawit, nikel, atau batu bara, Indonesia berusaha keras untuk mengurangi dampak perubahan iklim dari pembangunannya. Meskipun sangat disayangkan bahwa Reuters telah memberikan pandangan negatif yang tidak pantas kepada industri minyak sawit Indonesia, Reuters juga telah mendiskreditkan dirinya sendiri dengan menerbitkan artikel dangkal seperti yang ditulis oleh Adi.
Komentar Via Facebook :