Berita / Nasional /
Pupuk Naik 400%, Dana PSR Patut Ditambah
Pekanbaru, elaeis.co - Usulan kenaikan dana dukungan peremajaan sawit rakyat (PSR) hingga Rp60 juta/hektare hanya tinggal menunggu persetujuan dari Komite Pengarah yang terdiri dari para menteri, dengan Ketua Menko Perekonomian.
Usulan yang diajukan oleh Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI) yang meliputi Aspek-PIR, SPKS, SAMADE, APKASINDO Perjuangan dan lainnya pada RDP-U kepada komisi IV DPR RI ini juga telah disepakati BPDPKS.
Menurut Ketua Umum DPP Aspek-PIR Indonesia, Setiyono kenaikan nilai itu juga sesuai dengan yang usulkan Aspek-PIR pada rapat dengar pendapat dengan DPR RI beberapa waktu lalu. Ini lantaran kondisi di lapangan saat ini semua harga kebutuhan dalam industri kelapa sawit naik.
"Terutama harga pupuk yang naik hampir 400%," kata dia, Minggu (21/8)
Dengan kenaikan itu tentu petani juga kesulitan untuk melakukan perawatan kebun. Sedangkan pasca-PSR petani juga butuh banyak pupuk untuk merawat bibit yang telah ditanam.
"Biaya yang ditetapkan sebelumnya itu tidak cukup. Sehingga petani harus mengajukan pinjaman ke bank,"ujarnya.
"Harapan kita, dengan naiknya nilai yang diberikan bisa membuat minat pekebun semakin bertambah untuk mengikuti program PSR," imbuhnya lagi.
Sementara itu Ketua DPD I Aspek-PIR Riau, Sutoyo mengatakan, pengajuan ke Komite Pengarah itu besar potensinya bakal disetujui. Karena memang kebutuhan untuk peremajaan besar, seperti saprodi dan herbisida pestisida.
Ia berharap dengan kenaikan dana ini target PSR yang dicanangkan pemerintah tercapai. Sehingga target meningkatkan produktifitas kebun kelapa sawit nasional 16,38 juta hektare lebih maksimal.
"Harapan kita jika terealisasi maka akan berdampak pada penyelesaian tata kelola sawit dari hulu-hilir. Sehingga memberikan dampak yang positif bagi petani, pelaku usaha dan pemerintah," ujarnya.
Sutoyo yakin dengan biaya dukungan mencapai Rp60 juta itu minat petani untuk pengajuan PSR semakin tinggi. Sehingga target PSR seluas 180 ribu hektare per tahun juga optimis tercapai.
"Sebab kalau hanya Rp30 juta/hektare, petani harus kembali mencari talangan dana yang sama banyaknya. Karena dana itu hanya cukup hingga di pembibitan, sementara perawatan hingga panen masih membutuhkan biaya lagi," kata dia.
"Dengan begitu petani terpaksa harus mengajukan pinjaman ke bank. Nah, disinilah kesulitan petani sebab bank membutuhkan afalis. Dari sini pula minat petani itu kurang, karena mereka tidak langsung menikmati hasil kebun nantinya, namun harus kembali membayar angsuran baru bisa menikmati hasilnya," imbuhnya.
Komentar Via Facebook :