https://www.elaeis.co

Berita / Internasional /

Referendum Swiss Hari Ini, Akankah 52% Pro Sawit?

Referendum Swiss Hari Ini, Akankah 52% Pro Sawit?

Hamparan sawit rakyat di Musibanyuasin, Sumsel. Foto: aziz


Jakarta, elaeis.co - Hari ini, sekitar 5,5 juta warga Swiss sedang mengumpulkan suara terkait nasib perdagangan bebas dengan Indonesia. Minyak sawit menjadi sasaran yang paling menonjol. 

Adalah penentang sawit yang mengusung referendum ini. Mereka antara lain penentang globalisasi, partai sayap kiri dan sejumlah organisasi non-pemerintah (LSM). 

Seperti dilansir laman swissinfo.ch, lembaga penelitian GfS Bern memprediksi kalau kubu pendukung perjanjian perdagangan bebas akan memenangkan reperendum itu dengan porsi 52% suara. 

Sebetulnya, referendum yang terjadi hari ini tidak serta merta, tapi sudah muncul sejak 10 tahun silam, persis saat kelompok lobi lingkungan Greenpeace mempersoalkan raksasa makanan, Swiss Nestlé. 

Greenpeace menuduh Nestlé mendukung deforestasi di negara tropis dengan cara memakai minyak sawit yang tidak berkelanjutan.

Tadinya Nestle tak terima dituding begitu saja. Perlawanan sempat dilakukan meski kemudian perusahaan multinasional akhirnya berjanji akan menghilangkan bahan baku yang bersumber dari hasil deforestasi pada 2020.  

Selain Nestlé, Bank Credit Suisse juga ikut jadi sasaran. Bank ini dituding berinvestasi dengan cara meminjamkan duit kepada produsen minyak sawit. 

LSM Bread for All dan Swiss Catholic Lenten Fund mengklaim bahwa dari 2009-2016, Credit Suisse sudah menggelontorkan duit sekitar US$ 901 juta untuk industri minyak sawit.  

Sementara hasil penelitian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Indonesia, sejumlah kebun yang dipinjami duit oleh bank swiss tadi, kedapatan melanggar hukum. 

Oleh persoalan ini, minyak sawit yang sudah jadi konsumsi warga Swiss melalui margarin, makanan panggang, cokelat, sabun, dan lipstik menjadi sorotan. 

Lambat laun, muncullah kubu penentang minyak sawit. Mulai dari konsumen, petani hingga LSM bergabung.

Petani Swiss malah memanfaatkan keburukan minyak sawit yang digembar-gemborkan itu untuk melobi pemerintah untuk melindungi produksi minyak dalam negeri seperti bunga matahari dan rapeseed. 

Tapi Asosiasi Petani Swiss yang memimpin lobi itu langsung 'ditampar' oleh tayangan televisi publik Swiss yang menunjukkan bahwa petani di negara itu justru pakai suplemen pakan minyak sawit untuk makanan sapi perahnya. 
 
Meski begitu, gelombang keinginan untuk  referendum tetap saja terus membesar. Apalagi, anggota parlemen di enam dari 26 kanton Swiss (Jenewa, Thurgau, Bern, Fribourg, Vaud dan Jura) sudah pula mendukung pengecualian minyak sawit dari kesepakatan. 

Alhasil komite "Hentikan Minyak Sawit" muncul dan dengan cepat mendapatkan dukungan dari sekitar 50 organisasi sebelum mengumpulkan lebih dari 50 ribu tanda tangan untuk memicu referendum.  

Pemerintah Swiss tak mau gegabah dengan desakan referendum itu. Sebab bagi Pemerintah Swiss, Indonesia yang notabene produsen sawit terbesar di dunia dengan penduduk hampir 300 juta jiwa adalah potensi besar.  

Parlemen Nasional sendiri menolak inisiatif referendum itu meski setuju untuk memasukkan kriteria keberlanjutan dan melindungi petani dalam negeri dari dampak impor minyak sawit.  

Memang, di kalangan LSM banyak juga yang tak mau mengutuk kesepakatan perdagangan bebas dengan Indonesia itu secara langsung. 

Mereka lebih suka gagasan klausul keberlanjutan dimasukkan dalam perjanjian meski tidak sepenuhnya yakin kalau tindakan verifikasi dan sanksi akan efektif. 

Apapun itu, hari ini referendum itu tetap dilaksanakan. Apapun hasilnya tidak hanya akan mempengaruhi hubungan dagang Swiss dan Indonesia. 

Tapi juga akan menentukan nasib kesepakatan perdagangan bebas lainnya yang sedang direncanakan dengan Malaysia atau blok Mercosur Amerika Selatan (Brasil, Argentina, Uruguay, dan Paraguay). 

Kalau saja data yang disodorkan oleh Dosen senior Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung (ITB), Tatang Hernas Soerawidjaja, ini dibaca oleh orang-orang di Swiss itu, bisa jadi referendum itu tak akan terjadi. 

Sebab Tatang menyebut bahwa luas kebun kelapa sawit di dunia hanya 28 juta hektar atau 0,56?ri luas lahan pertanian yang mencapai 4,95 miliar hektar (data Desmet Ballestra). 

"Apa iya lahan yang hanya 0,56% lebih berdampak buruk pada pemanasan global ketimbang lahan peternakan yang mencapai 69% (3,4 miliar  hektar)?," tanya Tatang dalam sebuah perbincangan webinar beberapa waktu lalu. 

Lantas, Robert Henson, seorang penulis asal Oklahoma City, Amerika Serikat sudah pula menyebut bahwa satu hektar kebun kelapa sawit bisa menyerap 64,5 ton karbon dioksida (CO2) dan menghasilkan sekitar 18,7 ton oksigen (O2). 

Angka ini lebih besar ketimbang kemampuan satu hektar hutan tropis yang hanya mampu menyerap 42,4 ton CO2 dan menghasilkan 7,09 ton O2. 

Guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Yanto Santosa menyebut kalau sampai 2019, tutupan hutan di Indonesia masih 53?ri total luas daratan Indonesia. Luas daratan Indonesia sendiri mencapaia 192 juta hektar.



 
 

Komentar Via Facebook :