Berita / Bisnis /
Rekomtek PSR Berubah, Omzet Penangkar Urung Bertambah
Bengkulu, Elaeis.co - Tak hanya calon peserta, perubahan syarat rekomendasi teknis (rekomtek) untuk program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang ditetapkan pemerintah pusat juga berdampak pada para penangkar kecambah sawit.
Rusbandi, pengusaha penangkar kecambah sawit di Provinsi Bengkulu, misalnya, mengalami penurunan omzet akibat kebijakan itu.
“Tahun lalu pesanan bibit sawit dari petani peserta PSR mencapai 300.000 batang. Tahun ini harusnya 400.000 batang lebih bibit sawit sold out, tapi sebagian besar petani membatalkan pesanan karena perubahan rekomtek PSR,” kata pemilik CV Yahyo itu kepada Elaeis.co.
“Bibit sawit yang terjual dari penangkaran kami hanya sekitar 100 ribuan batang. Sekitar 30 persen dari pesanan,” tambahnya.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Penangkar Benih Tanaman Perkebunan Indonesia (PPBTPI) itu lantas mencontohkan beberapa perubahan isi rekomtek PSR yang membuat usahanya gagal meraih cuan maksimal.
“Tahun lalu calon peserta PSR tak wajib menyertakan keterangan dari ATR/BPN, tapi tahun ini diwajibkan. Tentu ATR/BPN harus survei ke lapangan dulu supaya bisa mengeluarkan surat untuk peserta PSR,” sebutnya.
Yang jadi masalah, berdasarkan informasi yang diperoleh Rusbandi, ternyata banyak kebun sawit yang didaftarkan menjadi peserta PSR berada di lahan berstatus hak guna usaha (HGU).
“Lah, HGU mana bisa ikut PSR. HGU bukannya punya perusahaan? Nah, yang tahu informasi itu ATR/BPN, kan?” Rusbandi setengah bertanya.
Perubahan rekomtek lainnya, mulai tahun ini calon peserta PSR wajib menyertakan surat keterangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyusul banyaknya temuan lahan kebun sawit rakyat yang masuk ke dalam kawasan hutan.
“Ada juga perubahan lainnya. Tapi intinya, banyaknya perubahan itu disebabkan banyaknya temuan selama pelaksanaan PSR. Mulai dari soal masuk dalam kawasan hutan, sampai yang ikut PSR ternyata awalnya bukan petani sawit melainkan petani karet atau komoditas perkebunan lainnya,” bebernya.
“Yang diperiksa aparat hukum di Kabupaten Bengkulu Utara, informasi yang saya dapat, mereka itu awalnya bukan petani sawit. Tapi bisa ikut PSR. Jadi, istilahnya, tidak pada peruntukannya,” imbuhnya.
Meski omzetnya turun drastis, Rusbandi tetap bersyukur karena bibit produksi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan yang ada di penangkaran miliknya tetap diminati petani swadaya. “Yang paling laku adalah varietas Simalungun dan DXP 540,” sebutnya.
Dari dua varietas itu, varietas Simalungun adalah yang paling sering sold out karena paling banyak stok plus tahan di berbagai jenis lahan.
Untuk menjaga kepercayaan produsen benih, dia dan para penangkar yang tergabung dalam PPBTPI tetap komit menjual bibit sawit sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan produsen.
“Produsen jual Rp 40.000 per batang, ya kami jual segitu juga. Kami ikut mereka, dan kami tetap dapat untung kok, terutama dari efesiensi penangkaran kecambah menjadi bibit,” ungkapnya.
Komentar Via Facebook :