https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

RI Ingin Jadi Penentu Harga Sawit Dunia pada 2045

RI Ingin Jadi Penentu Harga Sawit Dunia pada 2045

Ilustrasi (Reuters)


Jakarta, Elaeis.co - Indonesia pasang target, ingin menjadi penentu harga (price setter) kelapa sawit dunia pada tahun 2045 mendatang.

Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Emil Satria mengatakan, target tersebut sejalan dengan visi menjadikan Indonesia pusat produsen dan konsumen produk minyak sawit dunia dengan empat fokus hilirisasi, yaitu pangan (food), bahan bakar (fuel), bahan kimia (fine chemical), dan limbah (fiber).

Maksud dari hilirisasi adalah mengolah bahan baku, dalam hal ini kepala sawit, menjadi produk jadi yang memiliki nilai tambah, seperti margarine (lemak pangan), kosmetik, minyak goreng, dan sebagainya.

"Roadmap (peta jalan) hilirisasi industri kelapa sawit nasional, diharapkan pada 2045 kita menjadi pusat produsen dan konsumen produk minyak sawit dunia sehingga bisa menjadi price setter (penentu harga) CPO global," katanya, seperti dikutip CNN Indonesia, kemarin.

Ia optimistis target bisa dicapai mengingat Indonesia merupakan 'raja' ekspor minyak sawit dunia. Pada 2020, ia menyebut Indonesia menyumbang 37,3 persen dari total ekspor minyak sawit dunia. Kemudian diikuti Malaysia sebesar 19,3 persen dan Thailand sebesar 3,1 persen.

Sedangkan untuk pangsa pasar (market share) sendiri, ia menyebut Indonesia merupakan yang terbesar dunia, yakni 55 persen dari total pasar kelapa sawit dunia.

Menurut Emil, visi tersebut memiliki lima manfaat (benefit). Pertama, menggerakkan kegiatan ekonomi produktif melalui industrialisasi guna mencapai substitusi impor dan promosi ekspor, sekaligus mendatangkan devisa negara.

Kedua, menyehatkan neraca perdagangan RI dan memperkuat nilai tukar rupiah. Ketiga, mencapai kedaulatan pangan dan kedaulatan energi melalui pemanfaatan bahan bakar nabati.

Keempat, menjadi penggerak pembangunan daerah sentra produsen sawit dan perekonomian nasional, khususnya untuk daerah 3T atau terluar, tertinggal, dan terdalam.

Terakhir, mengendalikan emisi melalui penggunaan bahan bakar dan industri perkelapasawitan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Komentar Via Facebook :