Berita / Feature /
RPP Dipaksakan, RP170 Triliun Investasi Petani Sawit Bakal Lenyap
Jakarta, elaeis.co - Kalau para penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait Usaha Perkebunan itu melek dengan apa yang terjadi sepanjang webinar Focus Group Discussion (FDG) yang digelar oleh LPPM Institut Pertanian Bogor (IPB) Selasa pekan lalu, RPP turunan Undang-Undang Cipta Kerja pasti bakal dibongkar ulang semua.
Sebab di webinar serap aspirasi publik terkait RPP itu, semua borok terkait perhutanan dan tata ruang dibuka lebar-lebar.
Tak hanya oleh para pakar yang hadir, tapi juga para petani kelapa sawit dari berbagai provinsi yang ikut dalam webinar sesi dua itu.
Tim serap aspirasi, Prof. Budi Mulyanto yang menjadi host dalam webinar itu saja bilang; yang terlanjur itu pemerintah, bukan rakyat (petani sawit).
Omongan itu muncrat setelah Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Hardwinarto menyebut bahwa ada 3,3 juta hektar sawit terlanjur masuk dalam kawasan hutan.
"Keterlanjuran itu tidak semua ilegal. Bisa saja legal, sebab ada perbedaan yang terjadi pada tata ruang," katanya enteng.
Lantas keberadaan masyarakat terkait kawasan hutan kata Sigit, belum bisa diselesaikan secara optimal lantaran sebelum-sebelumnya, beberapa undang-undang belum mengatur secara tegas.
Sigit tak mengambil contoh undang-undang yang mana yang tak tegas itu. Tapi kalau ditengok peraturan pelaksana dari UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, Sigit nampaknya cuma berdalih.
Sebab di PP itu semua terkait hak-hak rakyat dan Negara, sudah diatur sedemikian rupa. Bahwa mau di hutan manapun hak rakyat maupun adat musti dikeluarkan, menjadi penegasan di PP itu.
Termasuk juga tugas Menteri, Gubernur, Bupati maupun Wali Kota yang wajib menginventarisasi hutan sekali lima tahun.
Tapi PP ini seolah-olah cuma jadi lembaran usang, yang ada hanya kerja suka-suka yang kemudian memunculkan bahasa keterlanjuran dan yang terlanjur didenda.
Di webinar itu Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki), DR. Petrus Gunarso mempertanyakan berapa persen sebenarnya hutan di Indonesia yang sudah dikukuhkan dan sudah dinyatakan sebagai hutan tetap.
"Kalau kita mau jujur menerapkan sanksi administrasi, mestinya mulainya dari situ. Tapi yang saya tengok, kehutanan-ATR/BPN dan Kehutanan-Lingkungan Hidup, belum duduk. Begitu juga Kehutanan dengan Pemerintah Daerah, saya melihatnya masih 'Ewo Pakewoh'," sindirnya.
Yang membikin urusan kawasan hutan menjadi semakin kacau kata Kepala Pusat Kajian Pengembangan dan Penataan Ruang (PKP2R) Universitas Mulawarman, DR. Zulkarnain adalah bahwa penetapan kawasan hutan tidak berdasarkan tata ruang pemerintah daerah.
"Yang tahu tata ruang daerah, ya pemerintah daerahnya, jangan diintervensi! Kehutanan jangan jadi negara dalam negara," tegasnya.
Lalu Doddy Imron Chalid, salah seorang yang ikut dalam webinar itu bilang bahwa menteri kehutanan punya kewenangan mendeliniasi kawasan hutan, makanya kawasan hutan sering berubah.
"Kalau kewenangan itu masih ada di RPP, sampai monyet bisa mengaji, masalah enggak akan selesai," tegasnya.
"Kalau RPP ini belum akan atau bahkan tidak akan menyelesaikan masalah di hulu, untuk apa RPP ini?" di waktu lain Petrus bertanya.
Entah lantaran tak percaya dengan RPP itu, Petrus langsung buka-bukaan bahwa dia bersama sejumlah koleganya sudah menyampaikan solusi jangka pendek ke presiden.
Pertama; Secepatnya menyelesaikan persoalan yang 3,4 juta hektar tadi. "Sebab kalau itu kelar, otomatis lapangan pekerjaan kian terbuka dan penghasilan negara meningkat," katanya.
Lalu yang kedua, agar segera dilakukan tata ruang kesepakatan yang terbuka, jujur dan berbasis data hasil inventarisasi eksisting terbaru. "Harus ada kolaborasi antara kehutanan, ATR/BPN dan semua stakeholder," pintanya.
Terus, kepastian atas investasi rakyat musti diberikan. Sebab kalau dihitung-hitung, ongkos membikin kebun yang 3,4 juta hektar tadi sudah mencapai Rp 170 triliun.
"Ngapain kita susah-susah mencari investor sementara investasi petani kita tidak kita hitung. Kalau yang 3,4 juta hektar itu beres, ATR BPN yang ditugasi menyiapkan 4 juta hektar lahan untuk energi terbarukan sampai 2030, tinggal menambah 600 ribu hektar lagi nya, clear" tegasnya.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Gulat Medali Emas Manurung mengingatkan supaya otoritas kehutanan jangan sesekali mengatakan petani dalam kawasan hutan itu ilegal.
Sebab kalau mereka dibilang ilegal, berarti duit yang selama ini diambil Negara dari hasil keringat petani, juga ilegal.
Mestinya kata lelaki 48 tahun ini, petani sawit ditolong, persis seperti yang sudah berkali-kali dibilang Presiden Jokowi, khususnya saat acara penanaman perdana Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
"Tengok itu petani banyak yang terganjal ikut PSR. Kalau 52 bulan lagi masalah sawit petani yang masih terjebak dalam kawasan hutan tidak diclearkan, akan 'terbunuh'lah mereka oleh Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Saya yakin, Presiden Jokowi tidak mau yang kayak begini, kami minta para perancang RPP jangan salah menterjemahkan keinginan presiden, fatal akibatnya bagi 21 juta petani sawit," tegasnya.
Komentar Via Facebook :