Berita / Feature /
Saban Jual TBS, Segini Duit Petani Yang Lenyap
Pekanbaru, elaeis.co - Belakangan para petani kelapa sawit terus menggembar-gemborkan kesetaraan dalam industri kelapa sawit.
Mulai dari keterbukaan soal harga hingga proses pengolahan tanaman asal Mauritius Afrika itu, menjadi bagian dari sederet item kesetaraan tadi.
Wajar petani khususnya mereka yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta kesetaraan itu.
Sebab dari hasil penelusuran elaeis.co di Riau, hingga kini petani masih menjadi yang paling dirugikan dalam rantai industri kelapa sawit tadi.
Di sejumlah wilayah, saat proses transaksi Tandan Buah Segar (TBS), petani harus menanggung resiko timbangan berkurang 10 persen dari total TBS yang dijual. Berkurangnya timbangan ini terjadi pada tengkulak yang mayoritas menjadi pembeli TBS petani.
Sudahlah timbangan berkurang, urusan harga, petani sebenarnya sudah dicekik lebih dulu. Sebab dari harga pembelian normal TBS, tengkulak akan memotong sekitar Rp200-Rp500 perkilogram TBS petani, tergantung sulitnya medan dan jauhnya lokasi kebun petani dari ramp loading tengkulak.
Dalam bisnisnya, tengkulak sebenarnya juga mendapat perlakuan yang sama. Jika si tengkulak memotong 10 persen total timbangan TBS petani, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) langganan si tengkulak juga memberlakukan potongan antara 3,5% hingga 7%.
Nah, jika petani yang sudah punya kelembagaan sendiri, misalnya kelompok tani atau koperasi yang langsung berurusan ke pabrik, maka derita yang ditanggung, sama dengan apa yang dirasakan oleh tengkulak tadi.
Tapi sesungguhnya, baik tengkulak, petani swadaya non kelembagaan atau petani swadaya yang punya kelembagaan, nasibnya sama saja; dicekik pabrik. Porsinya saja yang berbeda. Sebab itu tadi, sumber harga berasal dari pabrik.
Harga yang disodorkan pabrik kepada pemasok TBS adalah harga setelah semua tetek bengek pengeluaran, dipotong dari harga TBS sebenarnya.
Pada rekap penetapan harga Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau periode 2-8 September 2020, elaeis.co menemukan harga Crude Palm Oil (CPO) yang ditetapkan Rp8.885,08 perkilogram. Kernel (bungkil yang diambil dari dalam cangkak sawit) dibanderol Rp4.736,74 perkilogram.
Untuk mengolah TBS biar bisa menghasilkan CPO plus Kernel dan kemudian diantar ke pelabuhan, pabrik membikin dua tahapan pembiayaan.
Pembiayaan pertama terjadi pada pengolahan TBS di pabrik. Di sini, pabrik membikin biaya pengolahan Rp127,19 perkilogram, lalu biaya penyusutan (pabrik) Rp34,60 perkilogram dan Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) Rp48,59 perkilogram. Total, biaya ini Rp210,38.
Lantas apa yang dihasilkan pabrik dari TBS tadi? Dalam sebuah situs perkelapsawitan disebut, selain minyak sawit sekitar 20%-25%, Kernel 4%-6%, cangkang 5%-9%, tandan kosong 20%-22% dan serat (fiber) 12%-14%. Semua hasil ini bisa jadi duit.
Setelah CPO dan kernel ready, proses pengangkutan dilakukan. Untuk mengantar ke pelabuhan, pabrik butuh duit Rp181,48 perkilogram, lalu biaya pemasaran Rp44,05 perkilogram. Totalnya Rp225,53.
Kalau ditotal semua biaya tadi; Rp210,38 + Rp225,53, maka sudah Rp435,91 biaya yang habis. Oleh pabrik, semua pengeluaran ini dimasukkan dalam variabel indek K, persentase yang menjadi penentu dalam penetapan harga TBS petani.
Makin tinggi indeks K, makin besarlah persentase duit yang diterima petani.
Pada perhitungan harga di Disbun Riau tadi, dengan harga CPO dan Kernel segitu dengan patokan rendemen 0,2049 dan 0,0496, petani kebagian harga TBS dari CPO Rp1.999,87 dan dari Kernel Rp234,94. Kalau ditotal, menjadi Rp2.234,81.
Tapi gara-gara semua biaya pengolahan dibebankan kepada petani, harga TBS tadi hanya bisa di angka Rp1.798,91.
Yang menjadi pertanyaan justru, kenapa petani tidak kebagian duit penjualan Kernel, cangkang dan fiber secara proporsional?
Sementara Kernel yang dijual seharga Rp4.736,74 itu dihasilkan dari TBS petani dan proses pengolahan menjadi Kernel hingga sampai ke pelabuhan, ongkosnya diambil dari petani.
Kalau petani menjual TBS nya sebanyak 2 ton ke pabrik, jika mengacu pada hitungan di atas tadi, maka Kernel yang dihasilkan petani adalah 4% x 2000 = 80 kilogram. Ini berarti duit yang dihasilkan dari Kernel itu Rp4.736,74 x 80 = Rp378.939,2.
Angka itu menjadi masuk akal lantaran itu tadi. Ongkos mengolah TBS menjadi CPO dan Kernel sudah dipotong dari harga beli TBS petani.
Kalau misalnya uang Kernel ini didapat, maka dalam tiap 2 ton TBS, petani akan kebagian duit Rp1.798,91x2000+378.939,2= Rp3.976.759,2.
Kalau ditambah dengan 10% potongan yang dibikin tengkulak, 100 x Rp1.798,91 + Rp3.976.759,2 = Rp4.156.650,2. Kalau misalnya ongkos produksi kebun 60%, petani masih bisa mengantongi duit Rp1.662.660,08.
Dan duit segitu jika penjualan Kernel diterima petani dan potongan di tengkulak tidak ada dan ditambah lagi hasil penjualan tandan kosong dan serat fiber, pundi-pundi petani dipastikan akan gendut.
Tapi apa mau dikata, hitungan tadi cuma angan-angan. Sebab boro-boro dapat duit yang seperti itu, selain oleh sederet potongan-potongan tadi, petani masih dicekik lagi oleh pungutan ekspor yang oleh pengusaha, pungutan itu dibebankan kepada petani. Banyak orang menghitung, dengan pungutan ekspor $US55 perton CPO, petani kehilangan duit Rp150 perkilogram TBS!
Kalau dalam sebulan seorang petani bisa menjual 4 ton TBS ke pabrik, maka dia akan kehilangan duit Rp600.000. lalu dalam setahun, 12 x Rp600.000 = Rp7.200.000!
Runut lah lagi dari atas, hitung sudah berapa kerugian petani kelapa sawit sepanjang proses pengolahan TBS itu.
Santha Buana, saat masih menjadi Plt Ketua DPW Apkasindo Riau menyebut kalau PKS tak melulu menjadi pihak yang disalahkan dalam formula yang ada itu. Sebab PKS adalah ranah bisnis. Tak ada pebisnis yang mau rugi, apalagi saat menetapkan indeks K.
Jamak orang tahu, kalau PKS tidak saja hanya menerima TBS dari mitra yang sudah jelas kualitas perawatan kebunnya, tapi juga dari seluruh lapisan petani kelapa sawit. Artinya, ada TBS siluman --- TBS yang tidak terdeteksi kadar rendemennya --- yang masuk ke pabrik.
Biar aman, PKS membikin subsidi silang dan pemotongan timbangan. Hanya saja kata Santha, potongan timbangan itu bukan dibawa pulang oleh si pemilik TBS, tapi tetap saja masuk ke pabrik.
"Mestinya hasil potongan itu bisa dijadikan variable untuk tidak terlalu menekan indeks K," kata lelaki 37 tahun ini seperti dilansir gatra.com.
Lantas terkait potongan-potongan dan potensi duit yang tak didapat oleh petani? Inilah barangkali yang membikin Apkasindo terus menggembar-gemborkan soal tata niaga sawit itu, segera diperbaiki.
Sebab jika tata niaga sawit tidak segera diberesi, program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang kini sedang berjalan, dampaknya di masa mendatang enggak juga akan membikin petani sejahtera.
Sebab meski secara produksi dan kualitas meningkat, tapi duit petani tetap saja 'dijarah' secara halus lewat sederet potongan dan keberadaan Kernel, cangkang, tandan kosong dan fiber tadi.
Komentar Via Facebook :