https://www.elaeis.co

Berita / Sumatera /

Sandingkan Jengkol dan Sawit, Lalu Menunggu Hujan Duit

Sandingkan Jengkol dan Sawit, Lalu Menunggu Hujan Duit

Kebun jengkol Malem Sitepu di Subulussalam (Dok. pribadi)


Subulussalam, Elaeis.co - Mandah dari Binjai, Sumatera Utara, ke Subulussalam, Aceh, 1998 silam, Malem Teta Sitepu (44), mencoba mencari peruntungan menjadi pedagang perantara. Keliling perkebunan menampung hasil panen petani, lalu menjualnya ke pabrik.

“Macam-macam saya kerjakan, tapi seringnya jadi pedagang getah karet dan buah sawit,” Ketua Kelompok Tani (Poktan) Bukit Jaya ini mulai berkisah kepada Elaeis.co, Minggu (3/10/2021) malam.

Kegigihannya membuahkan hasil. Menabung selama 20 tahun, akhirnya dia bisa punya lahan sekitar delapan hektar di Subulussalam. Lahan itu masih berupa hutan dan semak, belum ditanami tanaman produktif.

Bersama sembilan warga Subulussalam lainnya, Malem lalu membentuk Poktan Bukit Jaya. Luas lahan yang dikelola poktan ini totalnya mencapai 30 hektar, ada yang sudah ditanami sawit.

10 anggota kelompok itu sempat berdebat panjang selanjutnya mau menanam apa di lahan itu. Sebab, statusnya masih hutan. Pilihan lalu mengerucut pada jengkol dan sawit. Dan akhirnya mereka sepakat menanam jengkol.

“Awalnya kami berdebat karena membanding-bandingkan mana yang paling menguntungkan,” jelasnya.

Berdasarkan perhitungan mereka, satu pohon jengkol bisa menghasilkan tiga karung sekali panen. Jika dikali 1.000 pohon jengkol, dapat panen 3.000 karung. Per karung isinya sekitar 50 sampai 60 kilogram dan laku dijual Rp 300.000 sampai Rp 500.000.

“Dibandingkan dengan kelapa sawit, jauh selisihnya, lebih untung jengkol. Apalagi pembeli jengkol sudah pasti ada, kalau enggak dari Medan ya dari Sumatera Barat yang memang jago dalam kuliner jengkol,” papar Malem.

Sepakat, poktan tersebut akhirnya menanam jengkol di lahan seluas 22 hektar. “Sekarang umurnya sudah tiga setengah tahun, sudah berbunga. Satu setengah tahun lagi panenlah itu,” ungkapnya.

Belajar dari pengalaman, mereka sadar bahwa menanam jengkol juga tidak mudah. Sering kali bibit yang baru ditanam dimakan babi hutan, monyet, atau hama yang lain. Jengkol juga kastrasi atau berbunga setelah umur 3,5 tahun dan baru bisa panen setelah berumur 5 tahun. “Berbuahnya sekali setiap enam bulan,” sebutnya.

Setelah lahan mereka dilepaskan dari kawasan hutan produksi, anggota poktan itu kembali berunding. Dan mereka memutuskan menanami lahan yang tersisa dengan kelapa sawit. “Kebun kami sudah ada sertifikatnya, sudah SHM,” bebernya.

“Jengkol hanya bisa panen dua kali setahun, itu pun setelah usianya lima tahun. Sementara kami butuh biaya hidup setiap hari, maka sawitlah kami pilih. Umur tiga tahun sudah bisa panen, panennya juga setengah bulan sekali,” tambahnya.

Agar hasilnya maksimal, mereka memilih bibit sawit unggul dari produsen benih tersertifikasi. Supaya tak salah pilih, Malem meminta masukan langsung kepada Ketua DPD Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Subulussalam, Ir Netap Ginting. Ditemani Netap, Malem sudah mendatangi salah satu penangkar benih sawit bersertifikat.

“Kami tak mau tanggung-tanggung, targetnya sekalian dapat sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPO,” pungkasnya.


 

Komentar Via Facebook :