Berita / Nusantara /
Sawit, Anugerah yang Potensinya Belum Dimaksimalkan
Medan, Elaeis.co - Alumni dan mahasiswa Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (TK-ITB) bersyukur atas kehadiran kelapa sawit di Indonesia sejak lebih seratus tahun yang lalu. Komoditi itu terbukti menjadi berkah yang luar biasa bagi Indonesia.
Ungkapan syukur itu diungkapkan para alumni TK-ITB seperti Tatang H Soerawidjaja, Sahat Sinaga, Endri Suprianto, dan lainnya dalam webinar bertajuk "Industri Kimia Berbasis Agro", Sabtu (26/6) sore.
Tatang, misalnya, menyebut sawit mengandung sejumlah asam lemak yang bisa dipergunakan untuk kepentingan kesehatan dan pembangunan energi terbarukan.
Sementara Sahat, yang saat menjadi Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), mengatakan, kehadiran sawit menunjukkan kemurahhatian Tuhan Yang Maha Esa kepada Indonesia. "Bahkan berkah itu membuat negara lain, terutama yang memproduksi minyak nabati non-sawit di Eropa dan Amerika, begitu cemburu sehingga bersikap diskriminatif terhadap sawit," katanya.
Endri yang membawakan makalah bertajuk "Perkembangan Industri Oleochemical di Indonesia" mengklaim kelapa sawit lebih banyak manfaatnya dibanding minyak nabati lain, termasuk kacang kedelai. Bahkan, Endri yang aktif di salah satu perusahaan consumer good ini menyebutkan, sawit mendampingi hidup manusia selama 24 jam sehari.
"Satu hektar kebun sawit bisa menghasilkan empat ton tandan buah segar (TBS). Sementara hal itu tidak bisa terjadi di soyabean atau kacang kedelai. Produk turunan sawit banyak dipakai untuk industri consumer good," katanya.
Namun para alumni TK-ITB itu juga melihat anugerah yang luar biasa itu belum bisa dimaksimalkan oleh Indonesia. Sapto Tranggono, alumni lainnya, malah melihat Indonesia kalah dari Malaysia dalam optimalisasi sawit. Malaysia, ujar Sapto, sudah mampu menghasilkan banyak produk hilir dari tanaman sawit.
Sahat mengakui hal itu. Industri oleokimia dari negara lain, katanya, cenderung memilih berinvestasi ke Malaysia karena peraturan terkait industri hilir sawit di sana lebih sederhana dibandingkan Indonesia.
Tapi dia yakin Malaysia bisa dikalahkan kalau 60 persen produksi sawit Indonesia dipakai untuk kebutuhan dalam negeri. Dus, Sahat berharap agar sarjana teknik kimia di Indonesia mau terjun dan mengembangkan industri hilir sawit.
"Harus mau para enginering kita terjun ke indusri hilir sawit. Jangan semua urusan yang terkait perkebunan sawit diurus oleh pihak pertanian. Cukup mereka di hulu, enginering di hilir agar bisa memaksimalkan produk," sebutnya.
Komentar Via Facebook :