Berita / Bisnis /
Sawit Lebih Dahsyat, Goncangan Pandemi di Riau Tak Terasa
Pekanbaru, Elaeis.co - Kelapa sawit merupakan komoditi unggulan di Riau. Tentu dengan luasnya lahan perkebunan kelapa sawit di Riau berpengaruh dengan percepatan ekonomi meski di masa pandemi Covid-19. Terlebih harga tandan buah segar (TBS) saat ini masih cukup tinggi.
Harga TBS itu dipengaruhi harga jual CPO baik domestik maupun di manca negara. Malah saat ini Riau juga menjadi provinsi pengekspor CPO hingga mancanegara. Goncangan pandemi Covid-19 tampaknya tak menggoyangkan industri sawit di Riau.
Ternyata, permintaan CPO yang tinggi tadi salah satunya dipengaruhi lantaran CPO merupakan minyak nabati terbaik dan paling efisien.
Seperti diungkapkan Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Riau, Ir H Rahmen. Ia mengatakan dibandingkan dengan minyak nabati lain, seperti kedelai, jagung, bunga matahari, zaitun dan sebagainya, minyak nabati dari kelapa sawit lebih efisien.
"Jika dibandingkan dengan minyak nabati dari kedelai saja, minyak nabati kelapa sawit lebih efisien hingga 10 kali lipat," katanya saat menjadi narasumber di Poadcast "Haidir Tanjing" Diskominfo Riau beberapa waktu lalu.
Menurutnya, inilah salah satu faktor permintaan CPO dunia saat ini masih cukup tinggi. Kata Rahmen, tingginya permintaan itu tentu akan berpengaruh dengan perekonomian daerah penghasil CPO seperti Riau.
"Untuk itu penting rasanya untuk menjaga produktivitas, peningkatan mutu, dan peningkatan hasil perkebunan tanpa harus menambah luasan area. Jadi, kita memaksimalkan yang ada jika tidak memungkinkan untuk penambahan area tadi," katanya.
Menurutnya, saat ini masyarakat Riau sudah cukup menyadari potensi sawit di Bumi Lancang Kuning. Ini terbukti sudah mulai banyak bermunculan petani sawit. Bahkan juga dari koorporasi dan pemerintah.
"Misalnya dari sisi infrastruktur. Saat ini pemerintah sudah getol memperbaiki infrastruktur yang bertujuan untuk memperlancar ekspedisi. Khususnya hasil perkebunan," paparnya.
Selain itu, adanya program "Rencana Aksi Daerah Sawit Berkelanjutan" juga dinilai wujud kesadaran pemerintah akan perkebunan kelapa sawit.
"Ini pemerintah tau bahwa sawit tidak hanya sampai di sini. Ini iuga bentuk perhatian terhadap perkebunan kelapa sawit," katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung mengakui, petani sawit adalah kelompok yang tak terguncang pandemi Covid-19.
"Malahan petani sawit itu kuat dalam menghadapi badai COVID-19, baik secara kesehatan maupun secara ekonomi," tegas Gulat.
Sebab, dari survei yang dilakukan oleh Apkasindo, sebanyak 83 persen masyarakat di desa petani sawit anggota Apkasindo tidak terinfeksi COVID-19.
Data survei itu juga menunjukkan kegiatan panen di kebun sawit tidak berubah sejak pandemi hingga saat ini, jumlah panen TBS pun tak ada bedanya dibandingkan sebelum terjadi pandemi. Pabrik kelapa sawit tetap menerima TBS yang dijual petani seperti sedianya, harga TBS tidak turun, dan pendapatan petani pun tetap semenjak adanya COVID-19.
Berdasarkan data terbaru yang dimiliki oleh Apkasindo, pendapatan petani sawit kurang lebih Rp4,6 juta per bulan. Besaran pendapatan itu stabil dan tidak menurun sejak terjadi pandemi.
Besaran pendapatan tersebut diambil dari sebagian besar profil petani sawit yang memiliki lahan 4,18 hektar per petani dikalikan dengan penghasilan sebesar Rp1,1 juta per hektare per bulan dari produksi TBS rata-rata 2,1 ton per hektare per bulan.
Menariknya, rata-rata pendapatan tersebut dihasilkan dari kebun sawit yang sebagian besar usianya tidak produktif lagi dalam menghasilkan tandan buah segar. Artinya, pendapatan petani sawit masih memiliki potensi lebih tinggi lagi apabila produktivitas kebun sawit digenjot melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang sedang digencarkan oleh pemerintah.
Rata-rata umur tanam pohon sawit yang dimiliki oleh 78 persen petani sawit rakyat berada pada usia 18 sampai 27 tahun, di mana produktivitasnya mulai menurun dari 20 hingga 15 ton per hektar per tahun.
Sedangkan dengan adanya program Peremajaan Sawit Rakyat bisa menghasilkan produktivitas paling tinggi mencapai 25 ton sampai 30 ton per hektar per tahun saat usia tanam berada di kisaran sembilan hingga 15 tahun. Oleh karena itu pemerintah terus gencar melaksanakan program PSR untuk meningkatkan produktivitas sawit yang sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petani.
Sebagai contoh pohon kelapa sawit bibit hibrida yang ditanam oleh Presiden Joko Widodo dalam pencanangan program Peremajaan Sawit Rakyat pada Mei 2018 di Riau, hingga kini yang usianya baru tiga tahun dua bulan sudah bisa menghasilkan TBS sebanyak 2,1 ton per hektar per bulan. "Luar biasa, ini belum pernah terjadi sebelumnya," kata Gulat.
Di sisi lain, potensi meningkatnya pendapatan petani sawit juga bisa lebih besar lagi dikarenakan kenaikan harga TBS per kg setiap tahunnya. Catatan Apkasindo, harga terendah TBS per kg pada 2019 yaitu di kisaran Rp1.200 hingga Rp1.400. Pada Agustus 2021, harga TBS melonjak di kisaran Rp2.100 sampai Rp2.700 per kg.
Subsektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia berdampak sangat besar terhadap aspek sosial, khususnya bagi kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada industri sawit.
Dari total 16,3 juta hektare tutupan lahan sawit yang ada di Indonesia dari Sumatera hingga Papua, sebanyak 41 persen atau 6,72 juta hektare dimiliki oleh rakyat. Sisanya 53 persen atau 8,68 juta hektar dikelola swasta, dan 0,98 juta hektar atau 6 persennya dikelola oleh perkebunan milik negara.
Dari total 6,72 juta hektare yang merupakan perkebunan rakyat, sebanyak 2,74 juta kepala keluarga (KK) menggantungkan hidupnya pada sektor perkebunan kelapa sawit. Sehingga berbagai kebijakan, regulasi, ataupun isu yang berkaitan dengan industri kelapa sawit secara langsung dan tidak langsung akan sangat berdampak pada 2,74 juta kepala keluarga di Indonesia.
Kebijakan yang mendukung peningkatan kualitas dan produktivitas kelapa sawit seperti Peremajaan Sawit Rakyat sangat berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan 2,74 KK. Sebaliknya, berbagai isu negatif terhadap sawit juga akan berdampak buruk pada kesejahteraan petani.
Berbagai isu sosial yang dialamatkan pada petani ataupun pekerja di industri sawit Indonesia seperti upah rendah, lingkungan tidak layak, hingga menyangkut HAM bertolak belakang dengan fakta di lapangan terkait kesejahteraan petani sawit.
Komentar Via Facebook :