Berita / Nusantara /
Sawit, Sektor Penting Ekonomi Indonesia Yang Penuh Tantangan
Jakarta, Elaeis.co - Menurut Ketua Strengthening Palm Oil Sustainability (SPOS) Indonesia, Irfan Bahtiar, kelapa sawit merupakan sektor penting dalam perekonomian Indonesia. Karena itu muncul beragam tantangan besar khususnya dalam pasar di kancah internasional.
Diungkapkan Irfan dalam gelaran Workshop Hasil Kajian IPB yang ditaja secara virtual, Rabu (22/12), isu yang dikemukakan untuk menggoyang sawit, perubahan iklim hingga isu tentang lingkungan.
"Menurut pandangan kami, peran berbagai peraturan yang ada seperti hadirnya moratorium, ISPO, UUCK, dan sebagainya sudah sangat bagus. Sebagai upaya memperbaiki serta menjawab perihal tadi. Hanya tantangannya bagaimana implementasinya di lapangan," katanya.
Menurutnya semua pihak harus bersinergi agar peraturan dapat berjalan. Kemudian berkontribusi membatu pemerintah dalam melakukan perbaikan tata kelola perkebunan sawit, pemecahan masalah kawasan hutan dan lain sebagainya.
Hal senada juga diungkapkan Deputi II Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud, bahwa terdapat beragam tantangan dalam pengembangan kelapa sawit. Misalnya dari produktivitas. Produktivitas CPO rata-rata hanya 3,8 ton/hektar dalam satu tahunnya. Padahal potensinya dapat mencapai 6-8 ton/ha setiap tahunnya.
"Kita juga dihadapkan dengan Black Champaign dengan mengangkat isu deforestasi, kerusakan lingkungan hingga isu kesehatan," ujarnya dalam gelaran bertajuk 'Dialog Kebijakan Tata Kelola Perkebunan Untuk Meningkatkan Kredibilitas dan Keberterimaan Kelapa Sawit Indonesia di Pasar Internasional'.
Selanjutnya terindikasinya perkebunan kelapa sawit masuk dalam kawasan hutan juga menjadi penghambat pengembangan tadi. Ia merinci ada sekitar 3 juta hektare perkebunan sawit masuk dalam kawasan hutan se-Nusantara. Kemudian legalitas dan perizinan juga masih belum maksimal. Masih banyak kebun yang belum miliki legalitas seperti SHM, HGU, dan STDB.
"Gangguan usaha dan konflik juga masih terjadi. Harmonisasi PBS/PBN dengan perkebunan rakyat menurunkan provitas," tuturnya.
Selanjutnya, adanya hambatan akses pasar di beberapa negara tujuan ekspor juga berpengaruh. Misalnya lantaran tarif bea masuk yang tinggi, kebijakan anti dumping, food safety, due diligence, RED II dan sebagainya
Bukan hanya disitu, hilirisasi pengembangan produk turunan CPO saat ini juga belum optimal. Sementara dari sisi energi potensi sumber daya belum tergarap optimal untuk menghasilkan energi.
Komentar Via Facebook :