https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Sawit tak Boleh Bernasib Sama dengan Tebu dan Karet

Sawit tak Boleh Bernasib Sama dengan Tebu dan Karet

Ilustrasi (Kementan)


Medan, Elaeis.co - Kebijakan pemerintah soal sawit, termasuk mandatori biodiesel, membuat harga tandan buah segar (TBS) saat ini naik. Kenaikan ini terus terjadi dua tahun terakhir, meski sedang dilanda pandemi.

Ungkapan syukur disampaikan oleh petani sawit dari berbagai organisasi dalam webinar bertajuk "Mendengar Curhatan Petani Sawit" yang digelar Gamal's Institute, Minggu (29/8/2021) sore.

Anggota Komisi IV DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, yang ikut dalam webinnar itu, juga mengaku senang karena pandemi Covid-19 justru telah menjadi berkah bagi petani sawit Indonesia. Kondisi saat ini sekaligus membuka mata pihak-pihak yang sebelum pandemi Covid-19 selalu menyudutkan sawit.

"Sebelum pandemi Covid-19 mereka selalu mengejek sawit," kata Firman tanpa menyebutkan nama atau kelompok.

Namun Firman mengingatkan agar para petani tidak berpuas diri. Semua pemangku kepentingan harus bertekad agar posisi sawit terus menjadi kuat. 

"Program replanting bagus, tapi tidak cukup. Harus ada intensifikasi kebun sawit agar satu hektar kebun sawit bisa hasilkan lebih dari tiga ton per hektar. Karena itu, pendekatan teknologi sangat diperlukan di sini," kata Firman.

"Itu dari sisi teknis pengelolaan kebun sawit. Namun perlu juga penguatan secara politik," sambungnya.

Penguatan secara politik itu diperlukan agar kelak sawit tidak bernasib sama seperti perkebunan tebu, karet, rempah-rempah, dan komoditas nasional lainnya yang pernah jaya tapi dihancurkan oleh pihak asing.

"Karet, tebu, dan komoditas lainnya tinggal nama saja. Sawit enggak boleh begitu, sawit harus terus didukung," kata Firman.

Firman menyebutkan, dibutuhkan regulasi atau undang-undang (UU) yang mampu melindungi sawit. Kata dia, sebelumnya DPR-RI telah menyiapkan draft RUU Perkelapasawitan.

Namun pemerintah masih ragu untuk membahas RUU itu karena banyak ditekan oleh pihak asing, termasuk melalui NGO asing dan dalam negeri.

Padahal, kata Firman, Malaysia sudah punya UU Perkelapasawitan. Bahkan Amerika Serikat, Turki, dan negara lainnya juga memiliki undang-undang yang melindungi komoditas strategis nasional mereka.

"AS dan Turki itu punya undang-undang terkait perlindungan tembakau. Itu komoditas strategis mereka. Kok kita enggak bisa berbuat hal yang sama terhadap sawit," kata Firman.

Syukurnya, kata Firman, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan lampu hijau terhadap perlindungan terhadap komoditas strategis nasional, termasuk sawit. 

Firman menyebutkan, lampu hijau dari pemerintah membuat pihaknya semangat untuk menyiapkan draft RUU Perlindungan terhadap Komoditas Strategis Nasional. 

"Namanya diubah, bukan RUU Perkelapasawitan, tapi RUU Komoditas Strategis Nasional. Kalau saya tak salah, ada lima komoditas yang dilindungi yakni sawit, tebu, karet, kopi, kelapa. Tidak apalah nama RUU-nya diubah, yang penting kita punya kedaulatan terhadap ekonomi, pertanian, dan perkebunan kita," tegas Firman Soebagyo.

Untuk itu ia meminta setiap elemen masyarakat, termasuk para petani dan akademisi, untuk memberikan masukan agar draft RUU Perlindungan terhadap Komoditas Strategis Nasional bisa disiapkan dan dibahas bersama pemerintah.

Komentar Via Facebook :