Berita / Feature /
Sekjen KLHK: Ketercukupan Kawasan Hutan di Tiap Provinsi Harus Lebih Dari 30%
Jakarta, elaeis.co - Kalau omongan Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono ini dijadikan pegangan, lahan dengan luasan maksimal 5 hektar dan sudah dikuasai minimal 5 tahun berturut-turut, tak akan bisa menjadi hak milik rakyat.
Sebab di dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR empat hari lalu, Bambang menyebut bahwa rakyat tidak dikenai denda tapi penguasaan lahan itu diteruskan dengan perhutanan sosial.
Ini dilakukan lantaran dalam rapat bersama tiga Sekretaris Jenderal (Sejen) --- KLHK, Kementan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) --- yang disiarkan langsung di Kanal Youtube Komisi IV DPR itu, Bambang menyebut bahwa KLHK sudah punya skenario bahwa semua provinsi di Indonesia wajib punya ketercukupan hutan lebih dari 30%.
Soal ketercukupan 30% ini pun muncul setelah sejumlah anggota komisi IV interupsi kenapa yang 30% tidak lagi disebutkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) tapi muncul di Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2021.
"Ini menjadi sumir, tidak ada tolak ukur. UU itu enggak bisa disalahkan kepada personal. Kalau batasan itu enggak ada, saya khawatir hilang keterukuran dan nanti malah tergantung pada kesolehan seseorang pada saatnya," ujar drh. Slamet.
Anggota lain, Dr. Hermanto mengatakan dengan tak adanya yang 30% itu pada UUCK justru telah terjadi proses pelemahan ketentuan yang sangat penting pada kehidupan semua mahluk.
"Tidak ada lagi rujukan tertinggi kalau itu hanya dicantumkan di PP. Biar ada penguatan dan level aturan yang lebih kokoh, 30% itu harus tercantum di UU. Kalau begini, akan membuka peluang orang untuk mudah melakukan pelanggaran," tegasnya.
Setelah interupsi itulah kemudian Bambang mengatakan begini; Meski batasan 30% itu tidak ada di UUCK, tapi dengan aturan turunannya termasuk UU 39 2009 tentang lingkungan hidup justru akan membuat batasan tutupan hutan 30% akan lebih di tiap provinsi.
"Dengan adanya UU 39 2009, kawasan hutan di tiap provinsi harus lebih dari 30% ," Bambang menegaskan.
Lantaran itulah kata Bambang, pelepasan kawasan hutan enggak semudah dulu. Sekarang pelepasan kawasan hutan hanya boleh di Hutan Produksi yang bisa di-Konversi (HPK), selebihnya penggunaan kawasan hutan. "Begitulah komitmen kami menjaga hutan," ujarnya.
Bambang kemudian menyinggung soal keterlanjuran 3,372 juta hektar kebun kelapa sawit masuk dalam kawasan hutan. Angka ini sudah melalui kronologis panjang.
"Data ini kami pakai untuk menindaklanjuti proses penegakan hukum dengan pendekatan sanksi administrasi," ujarnya.
Untuk disadari kata Bambang, 3,372 tetap akan mengantarkan kawasan hutan tetap terus ada. Bukan berarti bukan kawasan hutan.
Penggunaan kawasan hutan akan melegalkan dengan sanksi administrasi denda dan dengan jangka waktu tertentu kebun sawit bisa berjalan tapi tetap statusnya kawasan hutan dan bukan diturunkan. "Ini prinsipnya," ujar Bambang.
Seperti apa persyaratannya, menurut Bambang hanya ada dua persyaratannya. Pakai pasal 110 A UUCK jika dari awal kebun sawit sudah di ruang yang betul, tapi di tataruangnya masuk lagi dalam kawasan hutan, itu prinsipnya harus pelepasan.
Sebaliknya pasal 110B, jika kawasan hutan lebih dulu, ternyata kegiatan non kehutanannya setelah itu. Pasal-pasal ini akan diterapkan kepada seluruh pelaku usaha dan inilah yang ingin kita selesaikan, kepastian usaha, kepastian kawasan.
Sesuai Permen LHK kata Bambang, terhitung sejak 2 April 2021, tim KLHK di seluruh Indonesia akan bekerja terhadap keterlanjuran baik sesuai maupun yang tidak sesuai tata ruang. "Akan ada bank data," katanya.
Komentar Via Facebook :